Jakarta (ANTARA) - Pupuk bersubsidi merupakan salah satu instrumen penting dalam kebijakan pertanian Indonesia yang sejak lama berperan besar dalam menjaga ketahanan pangan.
Data Struktur Ongkos Usahatani Padi BPS tahun 2017 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pupuk terhadap struktur biaya usahatani pangan rata-rata hanya sekitar 10 persen, masing-masing 9,43 persen untuk padi sawah, 13,44 persen untuk jagung, dan 4,97 persen untuk kedelai.
Angka ini terbilang kecil, tetapi kontribusi pupuk terhadap peningkatan produktivitas sangat besar. Jika ketersediaannya tidak sesuai dengan kebutuhan baik dari segi volume maupun waktu, maka produktivitas tanaman dapat menurun.
Inilah yang menjadi dasar mengapa pupuk bersubsidi diposisikan sebagai faktor produksi strategis yang menentukan ketersediaan pangan nasional.
Sejak 1969, pemerintah meluncurkan program pupuk bersubsidi beriringan dengan introduksi varietas padi yang responsif terhadap pupuk dan pembangunan pabrik pupuk urea di Palembang.
Program ini bertujuan meningkatkan produksi pangan demi swasembada dan kesejahteraan petani.
Pada awalnya, program ini kurang diminati, tetapi berkat sosialisasi besar-besaran dari pemerintah termasuk Presiden Soeharto, hasil positif tercapai hingga FAO memberikan penghargaan pada Indonesia tahun 1985 atas capaian swasembada beras 1984.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan pupuk bersubsidi terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan dorongan peningkatan komoditas ekspor seperti sawit, kopi, dan kakao.
Hal ini menimbulkan dua tantangan utama, yaitu penyediaan anggaran dan volume pupuk serta penyelewengan dalam distribusi. Keterbatasan anggaran pemerintah yang dipengaruhi dinamika ekonomi global membuat alokasi subsidi berfluktuasi.
Tren alokasi pupuk subsidi sempat menurun drastis, bahkan pada awal 2024 hanya sebesar 4,73 juta ton, turun 45 persen dibandingkan 2018. Lonjakan harga pupuk global akibat pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, serta pelemahan rupiah memperparah kondisi ini.
Untungnya pemerintah bertindak cepat dengan menambah anggaran Rp28,21 triliun sehingga volume pupuk kembali dinaikkan ke 9,55 juta ton sesuai kebutuhan petani.
Data anggaran 2015–2025 menunjukkan belanja subsidi pupuk meningkat hampir 73 persen, sementara volume pupuk yang disediakan hanya naik 6 persen.
Ini menandakan biaya per satuan pupuk naik signifikan akibat kebergantungan pada impor bahan baku dan fluktuasi kurs dolar. Kenaikan harga memicu maraknya pupuk palsu yang beredar dengan mutu rendah namun harga tinggi.
Hal ini membuat belanja petani tidak efektif dan produktivitas menurun. Lemahnya pengawasan memperburuk keadaan, karena ketika harga melonjak, pupuk palsu semakin merajalela.
Baca juga: Revitalisasi KP3 untuk Pastikan Pupuk Bersubsidi Tepat Sasaran
Pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten perlu mencari alternatif penyediaan pupuk yang lebih murah dan efektif agar devisa tidak terkuras habis untuk subsidi semata.
Dengan optimalisasi harga dan ketersediaan pupuk, maka luas lahan dan jenis komoditas yang bisa terlayani akan bertambah, sehingga ekonomi lokal hingga nasional dapat bergerak lebih sehat.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.