Tagar boikot Trans7 dan pentingnya memahami budaya pesantren

5 hours ago 3

Bondowoso (ANTARA) - Tanda pagar atau tagar #Boikot Trans7 kini mengemuka setelah stasiun televisi swasta itu menyajikan tayangan yang diduga mengandung unsur pelecehan terhadap kiai dan pesantren.

Kasus #Boikot Trans7 ini membawa ingatan pada tradisi-tradisi di pesantren yang jika dilihat dari sisi luar pesantren tampak ganjil, bahkan aneh.

Sebelum kembali ke tagar #Boikot Trans7, mari kita cermati peristiwa di salah satu pesantren yang hampir bisa dipastikan sudah menjadi budaya biasa di semua pesantren, khususnya yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU).

Suatu siang, ketika kiai di pondok pesantren selesai mengisi pengajian, para santri berebut sisa air minuman sang kiai. Bagi masyarakat umum yang tidak mengenal budaya ini, tentu peristiwa rebutan sisa air minum itu akan dilihat sebagai sesuatu hal yang aneh.

Cendekiawan Muslim sekaligus ulama dan tokoh bangsa yang sangat disegani KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyebut pesantren merupakan subkultur. Tidak dijelaskan pesantren itu menjadi subkultur dari kultur yang mana. Kita bisa menafsirkan bahwa ia adalah bagian dari kultur modern, di mana pesantren masih sangat kuat memegang budaya tradisional. Atau bisa jadi pesantren merupakan bagian dari kultur masyarakat secara umum.

Kasus yang kemudian menggiring munculnya #Boikot Trans7 ini memberi pelajaran bahwa kita, khususnya media, harus memahami budaya kelompok tertentu, termasuk pesantren yang tidak semuanya sama dengan budaya di masyarakat umum.

Terkait berebut sisa air minum kiai di atas, bagi masyarakat yang lahir dan besar di luar pesantren akan melihatnya dari sisi higienitas atau aspek rasa, seperti jijik atau jorok dan lainnya.

Tayangan yang memunculkan #Boikot Trans7 rupanya menyinggung tradisi pesantren, ketika santri dan keluarganya menjunjung tinggi kekhidmatan kepada kiai. Stasiun itu menyinggung budaya masyarakat, khususnya santri yang menemui atau sowan ke kiai dengan memberikan uang.

Jika dilihat sekilas, budaya itu memang aneh, karena yang memberikan uang, secara strata ekonomi berada di bawah sang kiai. Sejatinya, di balik sowan ke kiai itu ada sambungan energi jiwa yang tidak bisa dipahami hanya dengan logika linier yang terbatas.

Dalam tradisi sowan, masyarakat atau santri sedang menyambung energi batin dengan sang guru yang mereka yakini akan membawa berkah bagi kehidupan diri dan keluarganya.

Apakah dengan motif mengharap berkah itu kemudian si santri dapat dihukumi sebagai orang kolot? Tunggu dulu. Orang modern, bahkan di dunia psikologi kini diakui bahwa kenyataan hidup setiap orang banyak dipandu atau diwarnai oleh pikiran bawah sadar.

Pikiran bawah sadar itu, dalam ranah spiritual dan religius dibahasakan sebagai keyakinan. Para santri dan keluarganya yakin bahwa dengan menyampaikan sebagian hartanya untuk guru, maka kehidupannya, termasuk ekonomi keluarganya, akan berlimpah dan semakin berkah.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |