Gaza (ANTARA) - Saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian 20 poin untuk Gaza pada 29 September, saya mengira Hamas akan menolaknya mentah-mentah. Usulan itu melarang gerakan Palestina tersebut terlibat dalam pemerintahan Gaza dan mewajibkannya untuk menyerahkan senjatanya, persyaratan yang tampaknya mustahil untuk diterima.
Namun, perkembangan cepat yang terjadi setelahnya membuat banyak pihak, termasuk saya sendiri, sulit memercayainya. Setelah beberapa hari pembicaraan tidak langsung antara Israel dan Hamas, kedua pihak sepakat melaksanakan tahap pertama rencana Trump tersebut, dan gencatan senjata mulai diberlakukan pada Jumat (10/10). Perjanjian itu kemudian diformalkan dalam sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT) di Sharm el-Sheikh, kota resor Laut Merah, di Mesir pada Senin (13/10).
Saya mengetahui kabar gencatan senjata itu dari apartemen saya di Kota El-Shorouk, Kairo timur. Saat menyaksikan siaran langsung upacara penandatanganan kesepakatan itu, saya teringat pada mereka yang tidak sempat menyaksikan momen tersebut. Kenangan tentang kampung halaman saya di Gaza, tempat saya menghabiskan tujuh bulan selama perang dua tahun tersebut, kembali membanjiri ingatan, malam-malam yang hanya diterangi oleh cahaya lilin, dentuman serangan udara, wajah lelah para ibu di koridor rumah sakit, serta kuatnya aroma debu dan asap yang memenuhi jalanan.
Selama 24 bulan terakhir, perundingan gencatan senjata telah berlangsung berulang kali, yang masing-masing berakhir dengan kekecewaan. Setiap gencatan senjata di Gaza menghadirkan harapan dan keraguan, berharap suara rentetan tembakan senjata akhirnya berhenti, dan rasa ragu tentang berapa lama ketenangan itu akan berlangsung.
"Kami berharap gencatan senjata kali ini bertahan lama. Kami sudah lelah terus-menerus dikecewakan," ujar sahabat saya Reem Salah, yang berprofesi sebagai perawat di Rumah Sakit Nasser, lewat sambungan telepon", katanya.
"Warga di sini masih bersikap hati-hati, namun terdapat sorotan baru di mata mereka, sesuatu antara ketakutan dan kelegaan," ujarnya.
Bagi Youssef Hamdan (42), pengemudi taksi asal Khan Younis, gencatan senjata itu menghadirkan keheningan yang terasa asing. Dia mendengar kabar tersebut saat memindahkan para korban tewas di seluruh kota itu. Saat berhenti di depan Rumah Sakit Nasser, dia duduk terdiam.
"Saya bahkan tidak merayakannya. Butuh beberapa menit untuk menyadari bahwa saya masih bernapas, dan keluarga saya selamat, setidaknya untuk saat ini," katanya.
Selama perang, Hamdan menghabiskan hari-harinya di balik kemudi, mengantarkan para korban luka dan pengungsi ke lokasi yang aman. Keluarganya sendiri terpaksa mengungsi beberapa kali usai serangan udara Israel menghancurkan tempat perlindungan mereka. Setiap malam, dia menyempatkan diri memeriksa kondisi mereka sebelum kembali melintasi jalanan yang dipenuhi suara tembakan, untuk menyelamatkan orang lain sekaligus mencari nafkah. Berbulan-bulan menghadapi bombardir membuat Hamdan bersikap waspada setiap kali dirinya mendengar suara yang tiba-tiba muncul.
"Setidaknya saya dapat berkendara tanpa menatap langit secara terus-menerus," ujarnya dengan nada pelan. "Perang mungkin telah berakhir, namun rasa takut tidak benar-benar hilang, begitu pula ingatan tentang apa yang keluarga dan diri saya telah alami."

Di Gaza City, seorang guru bernama Rawan Abu Jaber (29) yang berlindung di sebuah tenda di lingkungan al-Rimal menangis saat mendengar kabar gencatan senjata tersebut. Seperti banyak pihak lainnya di Gaza, dia tidak percaya bahwa dirinya selamat
"Saya menangis, bukan tangis bahagia, namun karena merasa lelah. Rasanya tidak nyata," tuturnya.
Pada awal perang, Abu Jaber kerap menenangkan para muridnya bahwa rasa takut itu pada akhirnya akan berlalu. Namun, bombardir tanpa henti selama berbulan-bulan mengajarkan hal sebaliknya bagi dirinya. Beberapa kali, dia dan keluarganya berlindung di rumah mereka untuk menghindari serangan Israel. Suatu malam, ledakan yang terjadi hanya beberapa rumah dari tempat tinggal mereka memecahkan jendela dan melempar mereka ke lantai, momen yang nyaris merenggut nyawa Abu Jaber. "Saya berdoa bukan meminta untuk selamat, namun jika saat itu (kematian) terjadi, semoga itu akan berlangsung cepat," kenangnya.
Setelah penerapan gencatan senjata, Abu Jaber keluar dari tendanya dan mengamati apa yang tersisa dari lingkungannya. "Dalam benak saya, saya berpikir, kami selamat, namun sebagian dari (diri) kami tetap tertinggal di bawah puing-puing tersebut," tuturnya.
Kendati demikian, banyak warga Palestina memandang gencatan senjata itu hanyalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju stabilitas. Berakhirnya pertempuran tidak selalu berarti konflik antara Palestina dan Israel telah selesai. Sebaliknya, hal itu mungkin menandai dimulainya fase baru yang penuh ketidakpastian, dengan berbagai tantangan politik, ekonomi, dan kemanusiaan.
"Hamas telah menerima klausul tentang gencatan senjata dan pertukaran tahanan, namun tidak semua detail (disepakati) terkait dengan tahap selanjutnya, yang mencakup pengaturan keamanan dan politik," ungkap Esmat Mansour, analis politik Palestina yang berbasis di Ramallah.
"Fase selanjutnya akan menentukan apakah gencatan senjata ini dapat bertahan lama atau gagal. Setiap pelanggaran atau eskalasi di lapangan dapat membawa situasi tersebut kembali ke titik awal," imbuhnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.