Jakarta (ANTARA) - Royalti musik atau karya musik selalu menjadi perbincangan menarik di industri hiburan Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan peraturan turunannya, negara memberikan landasan hukum yang kuat dalam penghimpunan dan pendistribusian royalti bagi para pencipta, pemegang hak cipta, serta pemilik hak terkait.
Secara hukum, pencipta memiliki dua jenis hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral melekat secara abadi pada diri pencipta dan tidak dapat dialihkan selama ia masih hidup. Hak ini mencakup, antara lain, hak untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan nama pada ciptaannya, menggunakan nama samaran, serta mempertahankan ciptaannya dari distorsi atau perubahan yang merugikan reputasinya.
Sementara itu, hak ekonomi adalah hak eksklusif yang memungkinkan pencipta memperoleh manfaat ekonomi atas karyanya, termasuk melalui penerbitan, penggandaan, pengumuman, pertunjukan, hingga penyewaan ciptaan.
Dalam konteks musik dan lagu, hak ekonomi ini diwujudkan melalui mekanisme royalti. Royalti didefinisikan sebagai imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak.
Untuk menjamin pelaksanaan hak ekonomi tersebut, pemerintah membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkumham Nomor 9 Tahun 2022. LMKN bertugas menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti kepada pencipta maupun pemilik hak.
Baca juga: Kemenekraf dorong regulasi baru pembayaran royalti berbasis digital
Royalti wajib dibayarkan oleh pihak yang memanfaatkan lagu atau musik secara komersial dalam bentuk layanan publik, seperti konser, kafe, restoran, pusat perbelanjaan, hotel, bioskop, hingga nada tunggu telepon. Kegiatan tersebut dikategorikan sebagai penggunaan komersial yang menghasilkan keuntungan ekonomi, sehingga wajib membayar royalti melalui LMKN.
Pihak yang wajib membayar royalti adalah penyelenggara acara atau pemilik usaha, bukan penyanyi secara individu. Pembayaran dilakukan melalui LMKN yang kemudian mendistribusikan royalti kepada para musisi melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) – badan hukum nirlaba yang ditunjuk oleh para pencipta untuk mengelola hak ekonominya.
Besaran royalti berbeda-beda tergantung jenis layanan publik dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM, dengan mempertimbangkan keadilan serta kelaziman praktik penggunaan karya musik di masyarakat.
Sistem distribusi royalti ini dilakukan berdasarkan data pemakaian lagu dan/atau musik yang dihimpun dalam Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM). LMK wajib memberikan laporan pendistribusian royalti kepada LMKN sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. Jika terjadi sengketa atas distribusi, musisi dapat mengajukan mediasi kepada LMKN.
Praktik serupa juga diterapkan di negara lain, seperti Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat, yang memiliki lembaga kolektif dengan fungsi transparan dan akuntabel. Indonesia sendiri terus mendorong transparansi dan efisiensi sistem ini demi menjamin perlindungan hak para musisi.
Melalui penguatan peran LMKN dan LMK, diharapkan ekosistem musik Indonesia menjadi lebih sehat dan profesional, serta memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pencipta lagu dan musisi tanah air.
Baca juga: KSI sebut perlunya sistem data khusus untuk hak cipta karya musik
Baca juga: Rian D'Masiv harapkan penerapan sistem royalti yang menyejahterakan
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025