Merawat mangrove demi terjaganya ekosistem pantai di Bali

11 hours ago 7

Denpasar (ANTARA) - Bali yang terkenal dengan pantai berikut ombaknya yang disukai wisatawan, sehari-hari dihadapkan oleh potensi abrasi.

Untuk mengatasi hal itu pohon bakau menjadi opsi pemecah ombak yang telah bertahun-tahun diandalkan masyarakat pesisir di daerah ini.

Data UPTD Tahura Ngurah Rai setidaknya mereka mengelola 1.373 hektare kawasan mangrove dengan tutupan atau yang sudah tertanami sekitar 80 persen.

Untuk memelihara kawasan mangrove butuh biaya tidak sedikit, sehingga masyarakat pesisir yang sejak lama menjadi nelayan ikut turun tangan merawat.

Dalam perjalanannya, tidak hanya masyarakat yang merawat mangrove agar terus hidup, namun mangrove juga yang menghidupi masyarakat pesisir.

Melalui kawasan yang tertata rapi, mangrove mulai menjadi objek wisata yang dapat disusuri pengunjung menggunakan perahu.

Masyarakat dapat pula mengumpulkan rupiah dari produk ekonomi kreatif bermanfaat dan lezat yang dibeli pelancong.

Ekowisata mangrove

Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Segara Guna Batu Lumbang Wayan Kona Antara di Denpasar mengatakan ekowisata mangrove kian banyak peminatnya terutama sejak COVID-19 mereda.

Sekitar 50 kepala keluarga (KK) berhasil melewati masa-masa pemulihan ekonomi berkat merawat mangrove dan mengembangkannya menjadi objek pariwisata.

Berangkat dari seberang Mangrove Showcase G20 di Desa Pemogan, pengunjung sudah dapat menikmati ekowisata bersama kelompok nelayan ini.

Mereka menyewakan perahu mesin dengan tarif Rp350.000-Rp600.000 untuk enam hingga 10 orang lengkap dengan pengemudinya, juga alternatif kano untuk satu atau dua orang ketika air surut.

Ekowisata menyusuri mangrove memberi pengalaman pengunjung merasakan berada di laut lepas yang terjaga dari ombak berkat pohon bakau dengan tinggi lebih dari 5 meter.

Terdapat beragam jenis mangrove yang dilewati selama 30 menit hingga satu jam lebih perjalanan. Bahkan tak jarang nelayan akan membawa perahu ke Pulau Penyu.

Sesekali penumpang perahu akan merasakan sejuknya laut yang dikepung oleh rindang pohon bakau. Perahu selanjutnya akan menjorok ke tengah sehingga penumpang melihat langsung Jalan Tol Bali Mandara dan pemandangan patung Garuda Wisnu Kencana meski terpapar terik matahari.

Namun begitu, pengunjung tak selalu beruntung, karena biasanya setelah satu jam air laut tinggi maka akan berangsur surut dan butuh waktu 5 jam untuk menunggu pasang kembali.

Pengalaman menjelajah ekowisata mangrove ini sangat diminati wisatawan, terbukti jumlah pengunjung rata-rata mencapai 2.400 orang tiap bulan dengan 25 persennya adalah wisatawan asing.

KUB Segara Guna Batu Lumbang berhasil mengumpulkan pendapatan lebih dari Rp300 juta per tahun untuk ekowisata mangrove. Selain itu, masih ada potensi lain yang dapat dituai dari tanaman mangrove seperti manfaat perikanan dan tumbuhannya sendiri.

Produk berbahan mangrove

Bagi masyarakat pesisir, kepala keluarga menjadi nelayan dan mengembangkan ekowisata, sedangkan para istri mengolah hasil alam dari kawasan mangrove.

Masih di kelompok yang sama, para wanita setiap hari menantikan hasil panen buah dan daun mangrove untuk diolah.

Tidak setiap saat bahan-bahan ini ada, mereka cenderung hanya mengambil sedikit agar tanaman tidak rusak dan tetap terawat.

Musim panen paling sering datang 6 bulan sekali, dimana buah-buah mangrove terutama jenis sonneratia caseolaris akan diolah menjadi sirup kaya vitamin C dan bruguiera gymnorrhiza diolah menjadi kripik.

Selain itu, daun jeruju atau dari mangrove jenis acanthus ilicifolius akan diolah menjadi teh dan mahkota dari rhizopora mucronata menjadi bahan dasar kopi.

Para wanita dari KUB Segara Guna Batu Lumbang menyajikan sirup mangrove salah satu produk ekonomi kreatif di ekowisata mangrove, Denpasar, Bali, Minggu (27/4/2025). (ANTARA/Ni Putu Putri Muliantari)

Para wanita mengaku tak mudah mengolah bahan-bahan ini secara tradisional rumahan, namun ketika sudah jadi dan dijual, hasilnya mampu memberi mereka gaji bulanan, tunjangan hari raya, hingga menyisakan uang kas bersama yang dalam setahun mencapai hasil bersih Rp37 juta.

Dari keempat produk ekonomi kreatif yang berhasil diciptakan dan diuji laboratorium Universitas Dhyana Pura, membuat kopi memerlukan waktu paling lama.

Dalam seminggu mereka perlu merendam mahkota mangrove dengan arang kayu sebelum akhirnya dijemur dan disangrai di mesin penggiling berukuran kecil.

Sementara produk paling diminati wisatawan atau instansi pemborong dengan pembuatan tersingkat adalah sirup mangrove berwarna merah muda persis seperti jus semangka.

Untuk olahan ini, para istri membutuhkan waktu dua hari mulai dari merebus buah mangrove kemudian meremas dan dicampur air untuk selanjutnya disaring tahap satu.

Pada tahap berikutnya, hasil penyaringan dipanaskan selama 24 jam untuk keesokannya disaring kembali tahap dua dan dicampur gula tebu sebagai pemanis alami, kemudian baru dapat dikonsumsi setelah 3-4 jam mengental.

Selain berdasarkan proses pembuatan terlama dan tercepat, ada produk dengan proses pengolahan paling rumit yaitu kripik yang dinamakan stik mangrove.

Makanan berbahan dasar buah ini mulanya harus direndam selama tiga hari menggunakan arang kayu, tantangannya para wanita ini harus memastikan bahan dasar kehilangan tanin yang dikandungnya.

Jika tidak, konsumen kripik mangrove bisa sampai pingsan akibat kandungan ini.

Setelah tahapan rumit ini selesai, maka mangrove akan diolah menjadi tepung dan digiling untuk menjadi olahan kripik.

Untuk produk sirup, masyarakat pesisir menjualnya seharga Rp15 ribu per 100 ml, kripik Rp15 ribu per 20 gram, kopi Rp40 ribu per 30 gram, dan teh Rp35 ribu per 30 gram.

Jarangnya musim panen dan konsistennya masyarakat menjaga mangrove membuat bahan produk sulit ditemui, sehingga menjualnya pun tidak bisa dengan harga murah. Anggota pengolah dan pemasok yang awalnya berjumlah 33 orang, kini tersisa tak sampai 10 orang.

Mereka yang masih bekerja penuh di kawasan mangrove juga hanya sebagian dari yang awalnya bergabung, sebab pasca-pandemi COVID-19 masyarakat kembali ke pekerjaan masing-masing.

Begitu pula generasi penerusnya yang mulai menurun, sehingga produktivitasnya tidak semaksimal seperti dahulu.

Saat ini, produk ekonomi kreatif dari mangrove diproses dalam jumlah banyak hanya jika ada pesanan terutama dari instansi yang hendak melakukan pertemuan besar di Bali.

Selebihnya, produk-produk ini ditawarkan kepada ribuan pengunjung ekowisata susur mangrove, tanpa dijual bebas di luar kawasan atau secara daring.

Keuntungan dari produk ekonomi kreatif menjadi penopang dari ekowisata mangrove, dan kegiatan ini tidak hanya dilakukan satu kelompok usaha nelayan melainkan tersebar di Bali.

Dari 1.373 hektare luasan mangrove yang dikelola Tahura Ngurah Rai, sekitar 10 persennya kini sudah dimanfaatkan sebagai area pariwisata.

Jika potensi ini dikelola dengan sentuhan inovasi dan pembinaan dari ahlinya, maka peluang tambahan penghasilan dari kawasan mangrove akan berkembang.​​​Awalnya yang hanya untuk menjaga alam, berkembang sebagai ekowisata dengan produk ikutan bernilai jual dan dapat menjadi sumber pendapatan.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |