Jakarta (ANTARA) - Sistem inovasi tambak budi daya udang berkelanjutan yang dikembangkan peneliti bersama pelaku usaha di Indonesia mulai diminati oleh investor asing, khususnya dari Jepang.
Sistem tambak budi daya udang berkelanjutan atau Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) itu dikembangkan di Desa Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah, oleh perusahaan rintisan, JALA, bersama para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fakultas Kehutanan Universitas Tandolako, dan Yayasan Konservasi Indonesia.
"Investor dari Jepang, mereka datang langsung ke sini, mereka tertarik mempelajari inovasi tambak kita, kemudian berinvestasi dan mengembangkannya juga," kata CEO JALA, Aryo Wiryawan saat ditemui di Donggala, Kamis.
Baca juga: KKP sulap tambak udang jadi modeling budi daya nila salin
Climate Smart Shrimp Farming merupakan sistem budi daya udang berkelanjutan yang perdana dilakukan secara nasional untuk tujuan memulihkan ekosistem mangrove sekaligus meningkatkan hasil produksi tambak udang dengan cara yang ramah lingkungan.
Aryo menjelaskan bahwa dari 12 hektare lahan mereka yang berlokasi di Desa Lalombi, Kecamatan Banawa Selatan itu tidak semua digunakan untuk menjadi tambak udang, tetapi dibagi secara proporsional sesuai dengan hasil kajian para peneliti.
Berdasarkan desain rencana diketahui dari jumlah keseluruhan lahan, hanya seluas 3,5 hektare lahan dibangun untuk tambak pembiakan udang, sementara bagian lainnya ditanami mangrove, dan dibuat kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) demi memaksimalkan proses penyaringan alami air dengan luas sekitar 6,5 hektare.
"Dilakukan seperti ini, karena fokus CSSF bukan pada tambak udangnya, tetapi keberlanjutan lingkungan, dan sirkulasi hidrologinya yang mesti dijaga," kata dia.
Ia menambahkan bahwa skema pemanfaatan lahan jadi aspek yang diperhitungkan secara rinci demi menyukseskan proyek DSSF senilai 1,2 juta dolar Amerika Serikat ini.
Aryo menjabarkan bahwa prinsip kerja dari sistem CSSF yang mereka kembangkan adalah untuk memanajemen air supaya tetap berkualitas baik. Mulai dari air laut yang dipompa masuk mengalir ke intake untuk mengisi tambak pembiakan udang.
Selanjutnya, dalam siklus budi daya atau sekitar per empat bulan (120 hari) sekali, air dari tambak udang itu akan dialirkan kembali ke laut melalui rangkaian pipa yang melintasi kolam IPAL dan area mangrove terlebih dulu.
"Dikatakan berhasil jika air masuk dan air keluar itu sama jernih/netral. Produksi mencapai target sekitar 35 ton per siklus. Nah bagian ini yang mereka ngotot sekali. Ingin tahu detail, bagaimana rangkaian pipa dan sistem pompanisasi yang tim teknik kami bangun untuk CSS ini," kata dia.
Baca juga: KKP luncurkan proyek percontohan tambak udang tradisional plus
Baca juga: KKP gandeng perusahaan China bangun budi daya udang terintegrasi
Aryo mengaku tak terkejut dengan tingginya minat dari orang Jepang untuk berinvestasi pada budi daya udang berkelanjutan seperti ini meskipun projeknya baru dimulai dan masih perlu disempurnakan.
Hal ini dikarenakan, selain karena bangsa Jepang yang sudah sadar inovasi teknologi dan berwawasan bisnis berkelanjutan, mereka juga dikenal sangat suka makan enak dari olahan seafood berkualitas premium.
"Jepang jeli dan tahu, Indonesia bagian timur adalah kawasan hasil laut yang potensial, khususnya seputar Sulawesi - Nusa Tenggara. Ketika inovasi ini semakin dikenal, itu prospek bagus di pasar global, karena mengubah images masa lalu yang masih terbawa sampai sekarang, kalau tambak udang Indonesia merusak lingkungan, padahal tidak semua dan itu yang kita mulai sekarang ini," kata Aryo.
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025