Siasat untuk berkuasa ala Robert Greene dalam 48 Laws of Power

1 day ago 4
Ada yang mengatakan bahwa buku ini adalah kitab suci bagi para manipulator. Tuduhan itu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Jakarta (ANTARA) - Apa jadinya jika pemikiran tentang siasat berkuasa dari para filsuf legendaris Machiavelli, Sun Tzu, Carl von Clausewitz, dan pemikir besar lainnya disatukan dan disarikan dalam satu buku?

Maka Robert Greene, penulis buku terlaris di New York Times, melakukannya dalam buku berjudul 48 Laws of Power.

Buku karya Robert Greene dalam versi ringkas ini bukan sekadar buku, melainkan sebuah perjalanan menyusuri lorong-lorong sejarah, di mana intrik, strategi, dan seni menguasai telah lama dimainkan oleh para raja, negarawan, dan para cendekiawan yang memahami bahwa kekuasaan bukan hanya milik mereka yang memiliki, tetapi juga milik mereka yang mampu memahami cara memilikinya.

Buku yang di Indonesia diterjemahkan oleh Nadya Andwiani dan diterbitkan oleh Renebook ini untuk versi terjemahannya di tanah air telah dicetak ulang sebanyak lima kali sepanjang 2024.

Buku yang aslinya berjudul The Concise 48 Laws of Power by Robert Greene ini sendiri telah menjadi buku best seller sejak 1998 dan 2002, serta diterjemahkan dalam beragam bahasa.

Greene menulis dengan ketajaman seorang filsuf dan keluwesan seorang seniman. Setiap hukum yang ia susun berasal dari kisah nyata, mulai dari tipu daya politik di kerajaan-kerajaan kuno hingga strategi bisnis di era modern.

Ia tidak menawarkan petuah moral yang menjemukan atau menyuapi pembaca dengan dogma idealisme yang meninabobokan.

Sebaliknya, ia menguliti tabir-tabir kepura-puraan dan memaparkan kenyataan bahwa di dalam setiap interaksi sosial, ada permainan kekuasaan yang berlangsung secara halus maupun terang-terangan.

Membaca buku ini seperti menyelami lautan di mana ombaknya penuh gelombang ketidakpastian.

Dari 48 hukum dalam buku yang dalam bahasa Indonesia berjudul Versi Ringkas 48 Laws of Power itu, A. Setyo Wibowo, pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, berpesan agar nasihat dalam buku ini jangan ditelan mentah-mentah. “Nanti kalau muncul seorang pemimpin seperti gambaran Robert Greene, kita tidak akan bisa membaca buku seperti ini lagi,” katanya.

Buku setebal 276 halaman ini memang sebahaya itu jika jatuh ke tangan orang yang hanya memahami kekuasaan secara serampangan dan menerapkannya dengan membabi buta. Sebagaimana Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, berpendapat bahwa buku ini berbahaya, tetapi juga penting.

“Berbahaya karena jika digunakan secara tidak benar dapat mengeksploitasi banyak hal. Namun, buku ini penting karena kita dapat belajar memahami karakter, gaya, dan siasat sebuah kekuasaan,” kata Isnur dalam testimoninya untuk buku tersebut.


Mencapai Kekuasaan

Buku ini tidak saja menarik secara esensi tetapi juga unik karena memberikan kalimat-kalimat pada marjin sebelah kiri atau kanan. Menyajikan 48 hukum untuk berkuasa berikut penjelasannya dan di bagian akhir setiap hukum, akan dijumpai dua hal yakni gambar dan otoritas.

Pada bagian gambar, Greene memberikan gaya yang sangat menarik, yakni bentukan gambar melalui deskripsi. Misalnya Greene ingin memberikan gambaran tentang bintang maka ia akan menuliskan narasi yang membentuk gambar bintang.

Keunikan tersebut semakin dalam saat narasi yang dituliskan memang memiliki makna yang tajam tentang poin dari setiap hukumnya.

Dalam esensinya, Greene mengajarkan bahwa di dunia ini, kepolosan sering kali menjadi mangsa kecerdikan, dan mereka yang tidak memahami aturan permainan akan tersingkir sebelum sempat menyadari bahwa permainan itu bahkan telah dimulai.

“Giring mereka cukup jauh ke jalan yang salah, selubungi mereka dalam tabir asap secukupnya, sehingga pada saat mereka menyadari niat Anda, semuanya sudah terlambat,” demikian salah satu kutipan kata-kata Greene dalam buku itu.

Ada hukum yang mengajarkan pembaca untuk tidak pernah bersinar lebih terang dari majikan, sebab dalam sejarah, banyak tokoh yang dihancurkan oleh iri hati mereka yang berada di atasnya.

Ada pula hukum yang menekankan pentingnya menyembunyikan niat sejati, karena dalam dunia yang keras, kejelasan sering kali lebih membahayakan daripada ketidakpastian.

Namun, daya tarik utama dari buku ini bukan hanya pada ajaran-ajarannya, melainkan pada bagaimana Greene menyajikannya.

Ia membalut setiap hukum dengan anekdot sejarah yang menggugah, menuturkan kisah tentang Napoleon, Machiavelli, Sun Tzu, hingga penguasa licik dari Dinasti Ming yang memahami bahwa kekuasaan sejati bukan hanya tentang dominasi, tetapi juga tentang keluwesan membaca situasi.

Setiap kisah yang ia sampaikan seakan mengajak pembaca untuk duduk di sebuah ruang besar yang penuh dengan cermin, di mana pembaca bisa melihat pantulan wajah sendiri dalam berbagai situasi, bertanya-tanya sejauh mana telah memainkan permainan kekuasaan dalam hidup tanpa menyadarinya.

Ada yang mengatakan bahwa buku ini adalah kitab suci bagi para manipulator. Tuduhan itu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Buku ini sebenarnya tidak mengajarkan pembaca untuk menjadi licik, melainkan untuk memahami liciknya dunia. Dengan mengetahui bagaimana kekuasaan bekerja, seseorang bisa memilih bagaimana ia ingin berperan di dalamnya.

Greene tidak pernah berkata bahwa setiap hukum harus diikuti dengan membabi buta. Justru, ia menunjukkan bahwa di balik setiap hukum ada celah, di balik setiap strategi ada kemungkinan untuk kalah jika tidak digunakan dengan bijak.

Orang yang memahami hukum-hukum ini tidak harus menjadi predator, tetapi setidaknya ia tidak akan menjadi mangsa.


Bahasa Indah

Bahasa yang digunakan Greene dalam buku ini tajam, langsung, tetapi juga memiliki keindahan tersendiri.

Ia menulis dengan gaya yang mengingatkan pembaca pada para pemikir besar yang tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga mengundang pembaca untuk merenungkan makna yang lebih dalam.

Ia tidak mencoba menutupi kenyataan bahwa dunia penuh dengan permainan kekuasaan, namun ia juga tidak mengglorifikasi manipulasi.

Ia hanya bertindak sebagai penutur, sebagai seseorang yang mengajak pembaca untuk melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa ilusi moralitas yang sering kali menjadi topeng bagi ambisi yang lebih dalam.

Mereka yang terbiasa dengan bacaan motivasi yang manis dan penuh janji akan merasa bahwa buku ini terlalu dingin dan kejam.

Tetapi bagi mereka yang ingin memahami realitas sosial dengan cara yang lebih jujur, The 48 Laws of Power adalah jendela yang memperlihatkan dunia dalam wujudnya yang paling murni, sebuah arena di mana kekuasaan selalu bergerak, berpindah tangan, dan dimainkan oleh mereka yang tahu bagaimana caranya.

Dalam dunia yang semakin kompetitif ini, memahami hukum-hukum kekuasaan bukanlah sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Bukan untuk menindas, melainkan untuk bertahan. Bukan untuk menjadi predator, tetapi untuk tidak menjadi korban.

Pada akhirnya, buku ini adalah tentang pilihan. Greene tidak memberikan peta jalan menuju kejayaan, tetapi ia memberikan peta untuk memahami lanskap di mana seseorang berjalan.

Setiap orang memiliki cara sendiri dalam menyikapi kekuasaan, dan buku ini adalah alat untuk melihatnya dengan lebih jernih.

Mereka yang telah membaca dan memahami buku ini mungkin tidak serta-merta menjadi penguasa, tetapi setidaknya mereka akan lebih siap menghadapi dunia yang tidak selalu seindah yang diharapkan.

Namun pengajar filsafat, A. Setyo Wibowo, menyelipkan catatan kecil untuk buku itu yakni bahwa nasihat Robert Greene hanya efektif untuk sebuah sistem demokrasi yang mengizinkan kebebasan berpendapat. Di Korea Utara, nasihat-nasihat seperti itu tidak mungkin tersebar.

“Mengapa? Karena begitu kekuasaan memusat secara mutlak dalam tangan Sang Pemimpin Agung, hanya dia yang boleh menggunakan nasihat Greene. Rakyat? Jangankan membuka mulut berpendapat, kelihatan ngantuk saat Sang Pemimpin berpidato saja sudah langsung ditumpas.”

Maka bersiaplah membaca buku ini tetapi penerbit buku berpesan agar pembaca jangan hanya melihatnya sebagai panduan untuk mengejar kekuasaan, tetapi sebagai cermin bagi jiwa manusia dan kompleksitas relasi antarmanusia.

Hingga sampai pada satu titik tujuan, buku ini dapat membantu siapapun untuk menavigasi lautan kekuasaan dengan bijaksana dan penuh rasa kesadaran.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |