Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan kebijakan penerapan kemasan rokok polos terstandar tidak terbukti dapat menyebabkan peredaran rokok ilegal jika berkaca dari pengalaman negara-negara maju yang sudah menerapkannya terlebih dahulu.
"Kemasan standar akan menghilangkan elemen visual yang menciptakan kesan bahwa rokok adalah produk gaya hidup atau simbol status. Selama ini, yang dibingkai di media bahwa kemasan polos akan meningkatkan peredaran rokok ilegal itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya," kata Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes Benget Saragih dalam temu media di Jakarta, Kamis.
Ia menyebutkan, 25 negara di dunia telah menerapkan aturan mengenai kemasan standar atau plain packaging pada produk tembakau dan rokok elektronik, di mana di Asia Tenggara terdapat tiga negara yang telah berhasil menerapkan kebijakan tersebut, yakni Singapura, Myanmar, dan Thailand.
Benget menambahkan, selain mengurangi daya tarik produk, kemasan polos yang terstandar juga dapat meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan, membantu menurunkan angka perokok baru, serta memperkuat dukungan kebijakan nasional sesuai Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
"Kemenkes saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan -RPMK- tentang standardisasi kemasan rokok, yang mengatur bentuk dan warna kemasan serta gambar pada peringatan kesehatan. Kami mendorong agar peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok bisa diperbesar hingga 80 persen," ucapnya.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, jumlah perokok di Indonesia sebanyak 70,2 juta, di mana 63,1 juta di antaranya merupakan perokok dewasa, sedangkan 5,9 juta lainnya perokok anak (usia 10-18 tahun). Hal ini menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok terbesar ketiga di dunia, padahal, enam dari 10 kematian di Indonesia disebabkan oleh perilaku merokok.
Sementara itu, Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso menyebutkan bahwa pengeluaran terbanyak kedua pada rumah tangga Indonesia yakni untuk merokok.
"Kita pengeluaran kedua terbanyak keluarga itu untuk merokok, protein sepertiganya. Konsumsi rokok berdampak multidimensi, menyebabkan stunting, berbagai penyakit, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga sudah mulai tekor, karena banyak pengeluaran untuk penyakit-penyakit termasuk akibat rokok, stroke, kanker, paru," paparnya.
Sumarjati mengemukakan pentingnya pengendalian prevalensi merokok usia anak dan disiplin menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di daerah-daerah.
"Kita harus mengendalikan prevalensi merokok mulai dari usia anak hingga 21 tahun, dan KTR di berbagai tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya," ujarnya.
Menurutnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang di dalamnya terdapat aturan mengenai standardisasi kemasan rokok, maka dapat menurunkan prevalensi perokok anak secara signifikan.
"Peluang pengendalian tembakau dari PP tersebut di antaranya anak menjadi terlindungi dengan tidak merokok di bawah 21 tahun, lalu tidak menjual dan membeli rokok," tuturnya.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025