Jakarta (ANTARA) - Indonesia dikenal luas sebagai negara dengan kekayaan budaya yang tak ternilai. Dari Sabang sampai Merauke, masing-masing daerah memiliki ciri khas budaya mereka sendiri.
Keberagaman inilah yang menjadikan Indonesia begitu istimewa, karena setiap warisan budaya tidak hanya mencerminkan identitas bangsa, tetapi juga menjadi pintu yang memperkenalkan Indonesia ke mata dunia.
Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang paling berharga.
Sebagai wujud penghargaan, setiap 2 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional, sebuah perayaan yang menegaskan kebanggaan masyarakat atas warisan budaya ini.
Kata batik berasal dari bahasa Jawa ‘ambatik’, yang secara harfiah berarti kain dengan banyak titik. Ambatik sendiri merupakan gabungan dari kata amba, yang berarti ‘menulis’, dan titik, yang merujuk pada proses menitik untuk menciptakan motif.
Dalam buku Master Dyers to the World: Technique and Trade in Early Indian Dyed Cotton Textiles (1979) karya Gittinger, tertulis bahwa batik merupakan proses pewarnaan kain dengan teknik perintang warna, di mana malam (lilin) digunakan untuk menutupi bagian-bagian tertentu dari kain sebelum pencelupan dilakukan.
Baca juga: Hari Batik Nasional 2025: Ini alasan harus bangga kenakan batik
Sejarah batik di Indonesia
Melansir situs resmi Kemdiktisaintek, sejarah batik di Indonesia tidak lepas dari perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran agama Islam di Jawa.
Jejak perkembangan batik pada masa Kerajaan Majapahit dapat ditelusuri di Mojokerto dan Tulungagung.
Saat itu, Tulungagung yang dikenal sebagai Bonorowo dipimpin oleh Adipati Kalang yang menolak tunduk pada Majapahit.
Setelah ia tewas dalam aksi polisionil, keluarga kerajaan dan tentara Majapahit mengambil alih wilayah tersebut dan membawa kesenian batik ke sana.
Pada akhir abad ke-19, mulai muncul perajin batik di Mojokerto. Bahan yang mereka gunakan untuk membatik hanya kain putih tenunan sendiri dan berbagai bahan tradisional lainnya.
Kemudian, pada akhir Perang Dunia I, pedagang Tionghoa mengenalkan batik cap bersamaan dengan masuknya pewarna dari luar negeri
Meski batik sudah dikenal sejak masa Majapahit, secara umum penyebarannya mulai meluas seiring pesatnya perkembangan batik di Kasunan Surakarta (Solo) dan Kesultanan Yogyakarta.
Hal ini dapat terlihat dari pengaruh corak kedua daerah yang juga tertampak pada perkembangan batik di Mojokerto dan Tulungagung.
Baca juga: Menjaga napas batik complongan di tengah senja perajin tua
Berawal dari dalam keraton
Pada mulanya, kegiatan membatik dilakukan di lingkungan keraton saja dan hasilnya hanya diperuntukkan bagi raja, keluarga, serta para pekerja keraton.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan membatik mulai ditiru oleh masyarakat yang tinggal di sekitar istana.
Tradisi ini kemudian menyebar semakin luas dan akhirnya menjadi mata pencaharian kaum wanita sehingga batik mulai menjadi pakaian yang digemari oleh rakyat.
Kendati demikian, hingga kini masih ada beberapa motif yang tetap sakral dan hanya boleh digunakan oleh keluarga keraton, salah satunya adalah batik Parang Rusak Barong.
Baca juga: Pemkab Mukomuko patenkan Batik Tando Pusako
Batik sebagai warisan dunia
Pada 2008, pemerintah Indonesia mendaftarkan batik ke UNESCO untuk mendapatkan status Intangible Cultural Heritage (ICH).
Kemudian pada 2 Oktober 2009, melalui sidang ke-4 Komite Antar Pemerintah tentang Warisan Budaya Takbenda di Abu Dhabi, UNESCO resmi menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Manusia, bersama sejumlah unsur budaya Indonesia lainnya.
Sejak saat itu, presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang yudhoyono (SBY), menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional melalui Keppres Nomor 33 Tahun 2009.
Namun jauh sebelum itu, ternyata presiden ke-2 Indonesia, Soeharto, telah mengenalkan batik ke dunia internasional sejak masa Orde Baru.
Saat itu, ia kerap mengenakan kemeja batik ketika menyambut tamu-tamu kenegaraan.
Soeharto juga sering memilih batik sebagai hadiah untuk diberikan kepada tamu-tamu negara tersebut, diantaranya adalah Ronald Reagan (presiden ke-40 AS) dan Nelson Mandela (presiden Afrika Selatan periode 1994-1999).
Hingga saat ini, batik tetap hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak sekadar sebagai busana, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan yang merefleksikan jati diri bangsa.
Baca juga: Komisi VII DPR RI serap aspirasi UMKM batik di Yogyakarta
Pewarta: Nadine Laysa Amalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.