Jakarta (ANTARA) - Pengamat mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menganggap pelemahan nilai tukar (kurs) Rupiah dipengaruhi laporan bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,37 persen pada Mei 2025 secara bulanan (month to month/mtm).
“Deflasi ini menjadi deflasi ketiga sepanjang tahun setelah Januari (-0,76 persen) dan Februari (-0,48 persen),” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, deflasi di Tanah Air menjadi alarm bahaya bagi ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 diproyeksikan kembali tidak sampai 5 persen. “Hal ini sudah lampu kuning, ada gejala pertumbuhan ekonomi melambat di kuartal II-2025,” kata Ibrahim.
Baca juga: Rupiah diprediksi melemah karena kontraksi aktivitas manufaktur China
Deflasi berkepanjangan menandakan sebagian besar masyarakat menahan belanja, yang membuat ekonomi ke depan lebih menantang. Artinya, sebagian besar masyarakat tahan belanja, dan menandakan konsumsi rumah tangga melambat dan ekonomi ke depan lebih menantang,
Adapun faktor dari luar negeri ialah aktivitas manufaktur di China mengalami kontraksi menjadi 48.3, di bawah perkiraan sebesar 50.6
“Angka PMI (Purchasing Managers Index) semakin menggarisbawahi dampak perang dagang AS terhadap ekonomi Tiongkok, dan memicu kekhawatiran bahwa permintaan komoditas di negara tersebut akan melemah,” ungkap dia.
Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini di Jakarta melemah sebesar 56 poin atau 0,34 persen menjadi Rp16.309 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.253 per dolar AS.
Adapun Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa justru menguat ke level Rp16.288 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.297 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah pada Senin menguat jadi Rp16.325 per dolar AS
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2025