Jakarta (ANTARA) - Delapan dekade sudah Indonesia merdeka, dan perjalanan panjang dalam membangun ekonomi negeri pun telah dilalui.
Indonesia yang yang lahir di tengah keterbatasan infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia terdidik, kini bertransformasi menuju salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia. Perjalanan panjang ini bukan hanya kisah pembangunan fisik, tetapi juga transformasi struktur ekonomi, kebijakan strategis, dan daya juang masyarakat yang membentuk fondasi menuju cita-cita besar: Indonesia Emas 2045
Berdasarkan data dari World Bank, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yang pada tahun 1967 hanya sekitar 7,7 miliar dolar AS, telah melampaui 1,5 triliun dolar AS pada 2024. Tingkat kemiskinan yang pada awal kemerdekaan diperkirakan di atas 70 persen populasi, turun menjadi sekitar 9,36 persen per Maret 2024 (BPS).
Perjalanan ini menunjukkan transformasi besar dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah, meski tantangan middle income trap masih membayangi.
Untuk itu tahun 2025 menjadi momentum refleksi nasional yang penting: delapan dekade perjalanan Indonesia merdeka. Perjalanan panjang ini bukan hanya kisah politik dan sosial, tetapi juga perjalanan ekonomi yang berliku, penuh tantangan, tetapi sarat capaian.
Selama 80 tahun Indonesia telah melewati fase-fase krusial, dari perekonomian yang porak-poranda akibat perang, menuju tahap pembangunan, krisis, reformasi, hingga era digital dan hilirisasi sumber daya alam.
Era Pembangunan Ekonomi
Era fondasi ekonomi (1945–1965) merupakan masa awal kemerdekaan yang diwarnai oleh instabilitas politik dan ekonomi. Perekonomian Indonesia saat itu masih berbasis agraris, dengan infrastruktur terbatas dan inflasi yang sangat tinggi.
Pada 1965, inflasi bahkan mencapai 650 persen (BPS), akibat dari defisit fiskal besar, pembiayaan melalui pencetakan uang, dan situasi politik yang memanas. Pemerintah pada saat itu fokus pada pembangunan fondasi ekonomi yang terdiri dari nasionalisasi aset-aset Belanda pada awal 1950-an, pembentukan bank sentral (Bank Indonesia pada 1953), dan perencanaan pembangunan lima tahun pertama. Namun, keterbatasan kapasitas fiskal dan lemahnya basis industri membuat pembangunan berjalan lambat. Meski demikian, pada periode ini lahir kesadaran bahwa kemandirian ekonomi adalah bagian integral dari kedaulatan nasional.
Setelah itu dilanjutkan era Pembangunan Orde Baru (1966–1998) di bawah Pemerintahan Presiden Soeharto, dengan memprioritaskan stabilisasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Langkah awalnya adalah mengendalikan inflasi, yang berhasil ditekan dari 650 persen pada 1965 menjadi di bawah 20 persen pada awal 1970-an.
Pemerintah membuka pintu investasi asing melalui UU Penanaman Modal Asing 1967 dan memanfaatkan boom minyak 1970-an untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Pada dekade 1980-an, diversifikasi ekonomi mulai dilakukan seiring jatuhnya harga minyak dunia. Industrialisasi menjadi agenda utama, termasuk pengembangan industri manufaktur dan ekspor non-migas. Pertumbuhan ekonomi pada periode 1989–1996 rata-rata mencapai 7 persen per tahun, menjadikan Indonesia sebagai salah satu "macan Asia" baru. Tingkat kemiskinan turun signifikan dari 40 persen pada 1976 menjadi sekitar 11 persen pada 1996 (BPS).
Namun, fondasi ekonomi yang rapuh, terutama ketergantungan pada utang luar negeri dan lemahnya regulasi perbankan membuat Indonesia terpukul hebat oleh krisis moneter Asia 1997–1998. Nilai tukar rupiah anjlok dari Rp2.300 per dolar AS menjadi lebih dari Rp 15.000, PDB mengalami kontraksi hingga -13,1 persen pada 1998, dan kemiskinan melonjak menjadi 24 persen.
Baca juga: Pemerintah Masih Tersandera Ekonomi Orde Baru
Baca juga: Ekonom kenang Kwik Kian Gie berani check and balances pemerintah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.