Refleksi 20 tahun Leuwigajah: Mengubah paradigma pengelolaan sampah

5 days ago 2
Bahwa sampah harus dikelola dan dipandang sebagai sumber daya karena mempunyai nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan.

Jakarta (ANTARA) - Triana Santika berdiri di atas bukit di Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, garis bibirnya melengkung dengan telunjuk yang mengarah ke bawah, menunjukkan lokasi tempat 157 orang meregang nyawa akibat longsor sampah.

Titik yang ditunjuknya, tidak jauh dari Kampung Adat Cireundeu tempatnya berasal, adalah lokasi salah satu tragedi lingkungan terbesar di Indonesia. Ketika gunung sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah tidak mampu lagi berdiri tegak diterpa hujan lebat, kelebihan tumpukan sampah kemudian luruh menutup dua desa yang berada tepat di bawahnya.

Tidak hanya longsor sampah, gas metana yang terakumulasi akibat penumpukan sampah organik kemudian meledak, meruntuhkan lebih banyak perbukitan sampah yang kemudian menewaskan 157 orang tepat pada 21 Februari 2005.

"Sampai hari ini udah 20 tahun kebetulan kemarin saya lihat tempat sampahnya. Lihat tempat mata airnya. Jadi sebenarnya, belum bisa lupa tragedi itu karena sangat memilukan," kata Triana ketika mengenang kembali kejadian tersebut.

Kala itu dia baru berusia 21 tahun, terbangun ketika sang ayah membangunkannya sekitar pukul 02.00 dini hari, mengetuk pintu kamarnya dengan kencang, membawa kabar pilu.

"Tri, sampah longsor," menjadi salah satu kalimat yang selalu diingatnya hingga kini. Dia terbangun, tergopoh-gopoh langsung menaiki motor bersama kakaknya menuju Desa Cilimus dan Desa Pojok, ingin mengetahui nasib kerabatnya yang berdiam di dua desa itu.

Saat menuju ke sana, akses jalan sudah tertutup. Kebingungan, mereka kemudian menunggu hingga pagi, saat jalan sudah terlihat lebih jelas dan mengendarai motor memutar Batujajar. Sampai di sana dia menyaksikan proses evakuasi sudah berjalan.

Dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca, pria yang kini berusia 41 tahun itu mengatakan melihat sendiri ketika mayat satu keluarga dievakuasi dari atap sebuah rumah yang sudah tertimbun sampah. Genteng rumah itu dibuka untuk mengeluarkan tubuh seorang perempuan, seorang lelaki, dan bayi kecil yang sudah tidak bernyawa akibat tertimbun sampah.

Tri tidak akan pernah lupa isak tangis yang keluar dari petugas yang mengevakuasi sang bayi. Hanya bisa terdiam, dia dan kakaknya kemudian berbalik pulang tidak mampu lagi melihat pemandangan tersebut.

Tragedi TPA Leuwigajah itu juga berdampak langsung kepada keluarganya, puluhan kerabat dari ayahnya menjadi korban. Ada yang meninggal dunia, ada pula yang rumahnya terdampak dan kemudian harus pindah mencari tempat tinggal baru.

Tepat 20 tahun kemudian di tahun 2025, bekas TPA Leuwigajah sudah berubah. Tidak ada lagi sampah terlihat, di atas tumpukannya kini tumbuh pepohonan pisang yang hijau dengan rumput yang terlihat di sela-selanya. Seakan ingin memperlihatkan bahwa alam dapat kembali mengambil lingkungan yang dulu dirusak manusia dengan menumpuk sampah sembarangan tanpa menimbang konsekuensinya.

Tregedi Leuwigajah itu kemudian menjadi pecut yang membangunkan kesadaran kolektif di Indonesia, bahwa permasalahan sampah tidak hanya bisa dilakukan secara sembarangan. Tiga tahun setelahnya, lahirlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Secara khusus, kejadian tersebut juga menimbulkan perubahan gradual di masyarakat sekitar. Di Kampung Adat Cireundeu, masyarakat kini sudah telah melakukan pemilahan sampah dari rumah, memisahkan sampah organik seperti sisa makanan dan anorganik yang. bisa didaur ulang dari sampah residu untuk diangkut oleh petugas.

Tri menceritakan sekitar 180 rumah di desa itu kini sudah melakukan praktik tersebut secara intensif selama dua tahun terakhir setelah mendapatkan pendampingan dari universitas. Sebuah perubahan yang perlu terus dilakukan untuk menghindari kembali terjadinya tragedi serupa.

Salah satu siswa sekolah yang mengikuti kegiatan Aksi Bersih Pasar dalam rangka HPSN 2025 memperlihatkan materi sosialisasi pemilahan sampah organik di Pasar Atas Cimahi, Kota Cimahi, Jawa Barat, Sabtu (22/2/2025) ANTARA/Prisca Triferna

Mengubah paradigma

Tragedi Leuwigajah tidak hanya meninggalkan kisah sedih yang diturunkan antargenerasi. Pemerintah Kota Cimahi melihat peristiwa itu menjadi sebuah dasar untuk terus memperbaiki diri.

Wakil Walikota Cimahi Adhitia Yudhistira dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2025 di Cimahi, yang diperingati setiap 21 Februari, menyebut pihaknya mengupayakan pembenahan di wilayah Leuwigajah.

Pemerintah daerah mencanangkan bahwa daerah Kampung Adat Cireundeu sebagai wilayah konservasi adat, budaya, dan lingkungan. Dia mengajak kesamaan visi dari kepala daerah lain yang memiliki yurisdiksi wilayah Leuwigajah seluas 82 hektare untuk mendukung upaya mengembalikan daerah tersebut sebagai hutan awi atau bambu dalam bahasa Sunda.

Pemulihan ekosistem yang sudah terdegradasi karena penumpukan sampah selama bertahun-tahun itu dilakukan pula untuk memastikan wilayah sekitar tidak akan kekurangan air. Meski dia mengakui prosesnya tidak akan mudah dan membutuhkan kolaborasi dari pemerintah pusat, dunia usaha, dan masyarakat.

Pengelolaan sampah juga terus menjadi salah satu fokus dari pemerintah daerah, dengan kini Kota Cimahi sudah memiliki Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sentiong untuk mengolah 10 hingga 50 ton sampah per hari dengan memanfaatkan maggot serta diolah menjadi bahan bakar alternatif memakai teknologi refuse-derived fuel (RDF).

Memperlihatkan keseriusan, Pemerintah Kota Cimahi juga sudah merancang denah pengelolaan sampah untuk menjadi pedoman pengelolaan sampah yang sesuai dengan karakteristik daerahnya. Diharapkan dengan pedoman itu dapat mengatasi isu sampah secara lokal dan berkontribusi dalam upaya menekan timbulan sampah nasional.

Dari sisi pemerintah pusat, Tragedi Leuwigajah tidak hanya melahirkan sebuah undang-undang dan aturan baru, tapi juga kesadaran yang secara bertahap mulai dibangun di Indonesia.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq melihat peristiwa tersebut tidak hanya sebagai sebuah tragedi akibat belum maksimalnya pengelolaan sampah kala itu, tapi kesempatan untuk mengubah paradigma dari kebiasaan kumpul, angkut dan buang ke tempat pemrosesan sampah.

Dia menyebut, waktu selama 20 tahun sejak kejadian di Leuwigajah dapat menjadi fondasi untuk mengubah sudut pandang tersebut menjadi sebuah paradigma baru. Bahwa sampah harus dikelola dan dipandang sebagai sumber daya karena mempunyai nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan.

Dalam peringatan HPSN 2025, Hanif mengingatkan bahwa Undang-Undang Pengelolaan Sampah dengan jelas menyatakan kewenangan pengelolaan sampah berada di tangan pemerintah kota dan kabupaten. Di sisi lain, pemerintah pusat akan mendukung dan memfasilitasi untuk memastikan pengelolaan sampah berjalan dengan semestinya.

Dengan semangat tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup kini mengambil langkah kuratif untuk mendorong pelaksanaan pengelolaan sampah yang lebih baik di berbagai wilayah, terutama yang masih memiliki TPA open dumping atau yang melakukan pembuangan secara terbuka dengan menumpuk sampah.

KLH dalam waktu dekat akan mengeluarkan sanksi administrasi paksaan pemerintah kepada 343 TPA open dumping untuk memperbaiki pengelolaannya, memastikan bahwa hanya sampah residu yang berakhir di TPA untuk menghindari overload atau kepenuhan.

Beberapa lokasi sudah ditutup oleh KLH melalui Deputi Bidang Penegakan Lingkungan Hidup, termasuk TPA Basirih di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang berada di lahan gambut serta TPA Burangkeng di Bekasi, Jawa Barat.

Langkah itu diambil ketika Indonesia mencatatkan jumlah sampah yang dibuang ke TPA dengan sistem open dumping mencapai 3.083.633 ton pada 2024, menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Sumber yang sama memperlihatkan bahwa 29,4 juta ton timbulan sampah tercatat pada periode itu, yang berasal dari 279 kabupaten/kota di Indonesia.

KLH juga sudah menginstruksikan penghentian impor sampah plastik sebagai bahan baku daur ulang dan membatasi impor sampah kertas. Diharapkan langkah itu dapat mendorong penggunaan bahan baku di dalam negeri, dengan keterlibatan dari produsen yang sudah diatur dalam aturan perundang-undangan serta dari masyarakat dengan upaya pemilahan.

Upaya sosialisasi juga terus dilakukan untuk mengurangi timbulan sampah, termasuk meminta pemerintah daerah memastikan pengelolaan sampah oleh pemilik kawasan sesuai kewajibannya dan membuat aturan yang mendukung langkah tersebut.

Terus didorong pula pengurangan dan pembatasan plastik sekali pakai, dengan saat ini baru tercatat 114 kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah terkait hal itu.

Dengan beragam langkah tersebut, baik dari pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha dan masyarakat, maka diharapkan kejadian Leuwigajah tidak akan terulang kembali di wilayah lain dan berhasilnya upaya mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk seluruh masyarakat di Indonesia.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |