Jakarta (ANTARA) - Di sebuah wilayah yang perlahan mulai bangkit dari keterpurukan ekonomi, rilis data statistik sering kali menjadi kabar yang dinanti untuk melihat indikator kondisi di atas kertas.
Maka saat Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan bahwa tingkat kemiskinan yang tercatat dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode September 2024 sebesar 8,57 persen, sebagai tingkat terendah sepanjang sejarah, kemudian sejumlah alat ukur pun perlu kembali ditilik untuk melihat realitas dan harapan di balik angka tersebut.
Penurunan ini memang diiringi dengan penurunan Rasio Gini, yang mencerminkan ketimpangan pendapatan. Bagi banyak orang, angka ini adalah sinyal perbaikan, bukti bahwa upaya pengentasan kemiskinan mulai membuahkan hasil.
Namun, di balik angka-angka tersebut, ada pertanyaan yang terus menggema termasuk terkait apakah penurunan kemiskinan ini benar-benar konkret dan dirasakan oleh mereka yang paling rentan?
Statistik, meskipun penting, sering kali belum sepenuhnya mampu menangkap kompleksitas kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat. Ada banyak warga yang hidup tepat di atas garis kemiskinan, rentan kembali jatuh miskin akibat tekanan ekonomi sekecil apa pun.
Garis Kemiskinan (GK) yang digunakan sebagai acuan mengukur kemiskinan di Indonesia, misalnya, dihitung berdasarkan kebutuhan dasar minimum.
Garis Kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242,00/kapita/ bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp443.433,00 (74,50 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp151.809,00 (25,50 persen).
Pada September 2024, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar Rp2.803.590,00/rumah tangga miskin/bulan.
Namun, pertanyaan kritis muncul kemudian terkait apakah jumlah tersebut benar-benar mencukupi kebutuhan hidup yang layak di berbagai daerah Indonesia, terutama di kota besar.
Di banyak daerah, terutama kawasan urban, kebutuhan hidup jauh melampaui angka tersebut. Harga pangan, transportasi, dan perumahan terus meningkat, sehingga banyak keluarga hanya bertahan secara statistik tetapi tidak secara realitas.
Angka ini mungkin saja seperti menciptakan ilusi penurunan kemiskinan yang tampaknya lebih signifikan di atas kertas daripada di lapangan.
Selain itu, distribusi penurunan kemiskinan juga tidak merata. Beberapa provinsi masih menunjukkan peningkatan angka kemiskinan, terutama di wilayah Indonesia bagian timur.
Ketimpangan pembangunan infrastruktur, akses pendidikan, dan layanan kesehatan menjadi salah satu penyebab utama.
Meskipun pemerintah telah meningkatkan alokasi anggaran untuk daerah tertinggal, tantangan geografis dan logistik sering kali menghambat implementasi yang efektif.
Perubahan Nyata
Lalu, bagaimana seharusnya menanggapi penurunan angka kemiskinan ini? Semua pihak perlu memahami bahwa langkah-langkah pengentasan kemiskinan telah membawa perubahan nyata bagi sebagian masyarakat.
Program pemerintah sebelumnya seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) faktanya telah memberikan jaring pengaman sosial yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat miskin. Namun, upaya ini pun tetap harus diikuti dengan pendekatan yang lebih holistik.
Pengentasan kemiskinan bukan hanya tentang meningkatkan pendapatan masyarakat hingga melampaui garis kemiskinan. Ini juga tentang memastikan mereka memiliki akses yang setara ke pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi.
Misalnya, pendidikan berkualitas adalah alat yang paling efektif untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Namun, hingga kini, akses pendidikan bermutu di daerah terpencil masih menjadi tantangan besar.
Hal serupa juga terjadi dalam sektor kesehatan. Meski cakupan layanan kesehatan semakin luas, kualitas layanan di banyak daerah masih jauh dari memadai.
Ketika orang miskin jatuh sakit, biaya pengobatan sering kali menjadi faktor yang mendorong mereka kembali ke lingkaran kemiskinan.
Selain itu, ketergantungan pada bantuan sosial jangka pendek harus mulai digantikan dengan pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan.
Maka mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berbasis komunitas dapat menjadi salah satu solusi terbaik.
Sebagaimana sebelumnya Menteri Koordinator (Menko) Pemberdayaan Masyarakat (PM) Abdul Muhaimin Iskandar mengatakan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan UMKM, koperasi, dan ekonomi kreatif berkelanjutan menjadi kunci untuk membantu masyarakat naik kelas dan secara jangka panjang dapat mendongkrak ekonomi nasional secara inklusif.
Menurut dia, UMKM, ekonomi kreatif, dan koperasi menjadi bagian dari pemberdayaan yang mengarusutamakan pengentasan kemiskinan.
UMKM faktanya memang memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja lokal, terutama jika didukung oleh akses permodalan, pelatihan, dan teknologi.
Namun, solusi-solusi ini juga hanya akan efektif jika didukung oleh data yang akurat dan transparan dalam pelaksanaannya.
Program pengentasan kemiskinan sering kali menghadapi tantangan berupa ketidaktepatan sasaran, terutama karena data yang tidak mutakhir.
Oleh karena itu, investasi dalam sistem data yang lebih baik, termasuk pemanfaatan teknologi digital, sangat penting.
Di tengah semua tantangan ini, ada secercah harapan. Penurunan kemiskinan, meskipun tidak sempurna, menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin.
Namun, pekerjaan besar masih menanti di depan. Semua perlu melampaui angka-angka dan melihat realitas yang dialami masyarakat sehari-hari.
Dengan begitu, semua dapat memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan benar-benar inklusif, menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk semua.
Perjuangan melawan kemiskinan adalah perjalanan panjang yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Semua harus terus menyadari bahwa di balik statistik ada manusia, ada cerita, ada harapan.
Dan ketika seluruh elemen bekerja bersama, bangsa ini akan lebih mudah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil, setara, dan sejahtera.
Copyright © ANTARA 2025