Film "Pernikahan Arwah" sajikan detail artistik Tionghoa

3 hours ago 1
Pesan moral film ini bukan sekadar tentang menghormati tradisi, melainkan tentang menemukan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini

Jakarta (ANTARA) - Sesi foto pranikah Tasya dan Salim di film "Pernikahan Arwah" yang tayang pada 27 Februari mendatang, mencerminkan kepribadian dan tema oriental dengan detail artistik Tionghoa yang diinginkan sutradara Paul Agusta.

Warna-warna pastel atau "earth tone" seperti "dusty rose", "lavender", atau "sage green" memberikan kesan elegan dan romantis, meski tanpa aksesoris yang berlebihan agar fokus tetap pada kedua calon mempelai.

Lokasi pemotretan di rumah tua bergaya arsitektur China serta halamannya yang menampilkan pepohonan rindang saat sesi foto, tampak serasi sebagai latar belakang. Lokasi itu disebut berada di Lasem, Jawa Tengah.

Tasya yang diperankan oleh aktris Zulfa Maharani tampil mengenakan cheongsam sangjit. Ia terlihat polos tanpa perhiasan yang mencolok.

Foto pranikah Salim (Morgan Oey) dan Tasya (Zulfa Maharani) dalam film "Pernikahan Arwah" ditampilkan saat gala premier di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2025). ANTARA/Abdu Faisal

Hanya saja, aksen minimalis itu berubah gara-gara sebuah tusukan rambut kayu yang diberikan oleh penata rias Arin (diperankan oleh aktris Puty Sjahrul).

Dari pemilihan setelan untuk sesi foto pranikah Tasya dan Salim (diperankan oleh Morgan Oey), penonton bisa melihat betapa detailnya tim produksi film itu dalam mengangkat tradisi dan budaya Tionghoa.

Film "Pernikahan Arwah" tampaknya tidak hanya mengandalkan jump scare untuk menakut-nakuti penonton. Film itu juga membangun atmosfer mencekam melalui detail-detail kecil, seperti pemilihan setelan dan latar belakang. Tusuk rambut kayu, misalnya, menjadi simbol dari gangguan supranatural yang mengancam kebahagiaan Tasya dan Salim.

Film ini juga menjanjikan eksplorasi tradisi Tionghoa yang mendalam, khususnya tradisi pernikahan arwah. Konflik antara tradisi dan modernitas, cinta dan teror, memang menjadi tema sentral dalam film ini, dan dengan pemilihan setelan dan latar belakang yang cermat, "Pernikahan Arwah" diharapkan dapat menghadirkan pengalaman menonton yang menegangkan dan memikat.

Representasi mistik etnis Tionghoa

Sesuai judulnya, "Pernikahan Arwah" mengangkat tradisi "Minghun", atau pernikahan arwah, yang merupakan bagian dari kepercayaan leluhur dalam budaya Tionghoa. Tradisi ini melibatkan pernikahan antara dua orang yang sudah meninggal, atau antara orang yang masih hidup dengan arwah, dengan tujuan untuk menghormati leluhur dan menghindari kesialan.

Tradisi ini berasal dari kepercayaan bahwa orang yang meninggal tanpa pasangan atau anak akan kesepian di alam baka. "Minghun" bertujuan untuk memberikan pasangan bagi arwah yang kesepian, sehingga mereka dapat beristirahat dengan tenang. Selain itu, tradisi ini juga diyakini dapat membawa keberuntungan bagi keluarga yang masih hidup.

Diceritakan bahwa Tasya dan Salim, sepasang calon pengantin sedang terperangkap dalam jaring-jaring masa lalu, menjadi peziarah yang tersesat di antara batas alam nyata dan dunia mimpi.

Dalam film ini, Minghun bukan sekadar bumbu penyedap, melainkan denyut nadi dari narasi utama. Ia adalah cermin buram yang merefleksikan ketakutan terdalam akan ketidakpastian setelah kematian.

Dalam film, tradisi ini direpresentasikan melalui ritual-ritual seperti penggunaan hio (dupa), kertas mantra, dan altar leluhur. Hio melambangkan penghormatan dan komunikasi dengan arwah, sedangkan kertas mantra digunakan untuk memanggil atau mengusir arwah. Altar leluhur menjadi tempat untuk menghormati dan memuja leluhur, serta tempat untuk melakukan ritual "Minghun".

Ritual pemakaman, juga memiliki peran penting dalam kepercayaan leluhur, yang mana ritual tersebut dilakukan untuk mengantarkan arwah ke alam baka dengan tenang.

Karakter-karakter seperti Salim, yang terikat oleh tradisi keluarga, harus menghadapi konflik antara kewajiban leluhur dan keinginan pribadi. Kepercayaan ini juga yang menjadi salah satu konflik yang terjadi antara Tasya dan Salim.

Simbolisme yang terjalin dalam setiap adegan, dari naga perkasa hingga kupu-kupu merah yang rapuh, adalah bahasa universal dari rasa takut dan harapan. Kupu-kupu merah, dengan sayapnya yang bergetar, adalah simbol bisu dari kerinduan yang tak terucapkan, sebuah elegi bagi cinta yang terenggut oleh waktu.

Rumah Engkim Fang Fang (bibi Salim), memiliki arsitektur kuno dan lorong-lorongnya yang gelap, menjadikannya karakter yang seperti hidup dan bernafas. Rumah Engkim Fang Fang berdiri sebagai monumen kesunyian, di mana dinding-dindingnya menyimpan rahasia kelam dan berbisik tentang tragedi masa lalu selama masa pendudukan Jepang.

Api dupa yang menyala terang, terlihat menyesakkan, menjadi saksi bisu dari pertarungan antara keyakinan dan keraguan.

Suasana gala premier film "Pernikahan Arwah" di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2025). ANTARA/Abdu Faisal

Ditambah lagi ternyata fotografer untuk sesi pranikah mereka, Febri, menyimpan obsesinya yang gelap, sebuah representasi dari sisi kelam hasrat manusia.

Sejarah selalu memiliki cara untuk kembali menghantui kita. Kisah leluhur Salim, Mei Hua, dengan tragedi masa lalunya, adalah pengingat bahwa luka masa lalu tidak pernah benar-benar sembuh. Ia terus mengalir dalam darah generasi berikutnya, menghantui mimpi dan tindakan mereka.

Pesan moral film ini bukan sekadar tentang menghormati tradisi, melainkan tentang menemukan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini. Ini adalah tentang bagaimana kita dapat membebaskan diri dari belenggu sejarah tanpa kehilangan akar budaya kita.

Dalam dunia yang semakin terasing dari akar budaya, 'Pernikahan Arwah' hadir sebagai pengingat akan pentingnya menjaga warisan leluhur tanpa terperangkap dalam belenggu masa lalu. Film ini mengajak kita untuk merenungkan tentang kekuatan cinta yang mampu mengatasi batas-batas dunia nyata dan alam baka, tetapi juga tentang bahaya obsesi yang dapat membutakan kita dari kebenaran.

Dalam "Pernikahan Arwah", suara bukan sekadar elemen audio, melainkan narator yang tak terlihat. Bisikan arwah, derit lantai kayu, dan melodi lagu kuno menciptakan simfoni kengerian yang akan menghantui pendengaran. Visual film ini bukan sekadar gambar, melainkan jendela menuju dunia lain. Penggunaan cahaya dan bayangan, warna-warna yang suram, dan sudut pengambilan gambar yang tidak biasa menciptakan atmosfer yang mencekam dan tak terlupakan.

Dengan demikian, "Pernikahan Arwah" bukan sekadar film horor, melainkan perjalanan ke dalam labirin ingatan dan ketakutan. Film ini mengajak kita untuk mempertanyakan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini, serta menemukan jalan untuk membebaskan diri dari belenggu sejarah. Setelah lampu bioskop menyala kembali, kita tidak hanya meninggalkan ruang gelap itu, tetapi juga membawa pulang pertanyaan-pertanyaan yang akan terus bergema dalam pikiran kita, tentang arti kehidupan, cinta, dan kematian. Ia adalah perjalanan yang akan membuat kita merenung, bahkan setelah lampu bioskop menyala kembali.

Baca juga: Sutradara "Pernikahan Arwah" pilih syuting di Lasem, Jateng

Baca juga: Gigi eks-Cherrybelle terbantu Perpusnas buat peran penyanyi Tionghoa

Baca juga: Film "Pernikahan Arwah" ingin sajikan horor yang berbeda

Baca juga: Sinopsis film "Pernikahan Arwah" tayang di bioskop 27 Februari 2025

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |