Jakarta (ANTARA) - Dominasi ponsel China di pasar Indonesia terus menguat, tidak hanya dari banyaknya merek yang masuk ke Indonesia, namun, juga dari data pangsa pasar yang dilaporkan oleh beberapa lembaga riset.
Merek-merek China disebut sukses melakukan adaptasi strategis yang cermat terhadap dinamika ekonomi domestik yang tengah lesu dan lanskap persaingan yang sangat ketat.
Perlambatan ekonomi
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan pada tiga bulan pertama 2025 yang hanya mencapai 4,87 persen. Tahun lalu kondisinya tidak jauh berbeda, pada kuartal ketiga (Q3) 2024, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 4,95 persen secara tahunan (year on year/yoy), untuk kali pertama berada di bawah 5 persen sejak kuartal keempat (Q4) 2021.
Angka tersebut juga menunjukkan penurunan dari pertumbuhan Q2 2024 yang mencapai 5,05 persen. Perlambatan itu menjadi sinyal penting atas kondisi ekonomi yang kurang bergairah.
Menurut laporan dari Perbanas Institute, perlambatan dipicu oleh penurunan daya beli konsumen, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah, yang tercermin dari penurunan proporsi pekerja formal dan peningkatan pekerja informal.
Laporan tersebut menunjukkan proporsi kelas menengah turun dari 23 persen pada 2018 menjadi 18,8 persen pada 2023. Selain itu, proporsi pekerja informal meningkat menjadi 40,64 persen pada 2024, yang mengindikasikan penurunan kualitas pekerjaan dan pendapatan rumah tangga.
Kondisi ini menyebabkan konsumsi rumah tangga, yang merupakan pilar utama ekonomi nasional dengan kontribusi 53 persen terhadap PDB, mengalami perlambatan pertumbuhan menjadi 4,91 persen (yoy).
Dengan berkurangnya pendapatan yang dapat dibelanjakan, konsumen menjadi sangat selektif dan sensitif terhadap harga. K
eputusan pembelian tidak lagi didasarkan pada keinginan semata, melainkan pada kebutuhan fungsional dan ketersediaan dana yang terbatas. Hal ini menciptakan lingkungan pasar yang ideal bagi produk-produk yang menonjolkan efisiensi biaya.
Ketahanan luar biasa pasar ponsel pintar Indonesia
Di tengah kondisi ekonomi yang menantang, pasar ponsel Indonesia Indonesia menunjukkan ketahanan yang luar biasa, dengan mencatatkan pertumbuhan 5,5 persen (yoy) pada 2024.
Pertumbuhan itu didorong oleh segmen-segmen tertentu, yaitu low-end (harga Rp1,5 jutaan ke bawah) serta segmen mid−range (Rp2-5 jutaan).
Pertumbuhan itu menunjukkan bahwa meskipun daya beli mengalami penurunan, ada permintaan yang besar untuk perangkat terjangkau yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan modern, seperti konektivitas 5G yang semakin terjangkau.
Lanskap persaingan di pasar Indonesia pun sangat dinamis, dengan data yang bervariasi dari berbagai lembaga riset.
Data dari Counterpoint Research untuk kuartal kedua (Q2) 2024 menunjukkan Xiaomi melonjak ke posisi pertama dengan pangsa pasar 18,1 persen, ditempel ketat oleh OPPO dengan 17,9 persen, Vivo 17,7 persen, dan Samsung 16 persen.

Posisi itu menunjukkan pergeseran signifikan, dengan Xiaomi berhasil menggusur Samsung dari posisi teratas, hal yang dahulu sempat dinilai mustahil. Namun, data dari Statcounter per Agustus 2025 menunjukkan peringkatnya kembali berubah, dengan Samsung memimpin pasar (17,79 persen), diikuti OPPO (16,63 persen) dan Xiaomi (13,05 persen).
Taktif efektif di pasar sensitif
Kunci utama dominasi merek-merek China adalah strategi value for money, murah meriah, yang agresif dan terukur. Strategi itu bukan sekadar menawarkan harga murah, melainkan memberikan spesifikasi dan fitur yang jauh melebihi harga yang ditawarkan.
Pendekatan itu secara langsung menjawab tantangan daya beli konsumen yang menurun.
Sebagai contoh, Redmi Note 14 5G dibekali denganchipset MediaTek Dimensity 7025, RAM 12 GB, dan pengisian daya 45W, bandingkan dengan Samsung Galaxy A25 5G yang menggunakanchipset Exynos 1280, RAM 8 GB, dan pengisian daya 25W. Dengan spesifikasi ini, Redmi Note 14 5G dijual dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp3.999.000, sementara Samsung Galaxy A25 5G dibanderol Rp4.099.000.
Pola serupa terlihat pada segmen yang lebih tinggi. Xiaomi Redmi Note 14 Pro Plus 5G mengusung RAM 12 GB, ruang penyimpanan 512 GB, pengisian daya 120W, dan sertifikasi tahan air IP68, dengan harga sekitar Rp5.999.000. Sementara itu, Samsung Galaxy A56 5G yang dipasarkan pada rentang harga Rp6.199.000 hingga Rp6.699.000, menawarkan spesifikasi pengisian daya 45W dan penyimpanan 256 GB.
Perbandingan ini menunjukkan bagaimana merek-merek China secara sistematis memberikan nilai lebih dari uang yang dibelanjakan oleh konsumen, sebuah taktik yang sangat efektif di pasar yang sensitif terhadap harga.
Ekosistem pemasaran dan distribusi yang komprehensif
Selain strategi harga, merek-merek China juga unggul dalam membangun ekosistem pemasaran dan distribusi yang terintegrasi. Mereka secara efektif memanfaatkan tren belanja digital yang semakin masif di Indonesia.
Data dari IDC menunjukkan bahwa transaksi e-commerce tumbuh 7,3 persen pada tahun lalu, didorong oleh perubahan kebiasaan belanja dan kemajuan teknologi pembayaran digital.

Merek-merek China mampu beradaptasi dengan cepat, dengan banyak di antaranya memiliki toko resmi di platform daring dan menawarkan berbagai promosi serta diskon. Pendekatan itu memungkinkan mereka memangkas biaya operasional fisik dan mengalihkan anggaran ke promosi digital yang lebih terukur dan menjangkau audiens yang lebih luas.
Strategi pemasaran mereka juga berpusat pada komunitas dan penggunaan promosi dari para pemengaruh.
OPPO, misalnya, mereka membangun komunitas pelanggan loyal yang tidak hanya menjadi pengguna, tapi, juga pendukung merek tersebut. Program seperti "OPPO Campus Influencer" secara khusus menyasar mahasiswa untuk menjadi perwakilan merek di media sosial dan di kampus, yang tidak hanya meningkatkan kesadaran merek tetapi juga membangun koneksi emosional dengan audiens muda.
Pewarta: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.