Jakarta (ANTARA) - CEO Pertamina New and Renewable Energy (NRE) John Anis mendorong bioetanol menjadi solusi untuk menurunkan emisi karbon di sektor transportasi, sebab memberi dampak berganda atau multiplier effect kepada masyarakat.
“Bioetanol ini salah satu solusi untuk mengurangi emisi di sektor transportasi yang menarik,” ucap John dalam acara buka puasa bersama di Jakarta, Senin malam (10/3).
John menilai bahwa pengembangan bioetanol memiliki dampak ekonomi yang luas, termasuk pemberdayaan petani. Salah satu sumber potensial bioetanol di masa depan adalah aren, yang jika dikelola dengan baik, dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
“Jadi, ya, petani-petani aren itu nanti kalau memang benar kita didik mereka menjadi petani yang profesional, itu meningkatkan pendapatan mereka. Petani yang lain bisa tumbuh lagi, bisa bertambah banyak lagi,” ucapnya.
Ia menyampaikan bahwa saat ini, Indonesia baru memproduksi sekitar 30 ribu kiloliter bioetanol, sementara pada 2029 kebutuhan diperkirakan mencapai 5 juta kiloliter.
Dengan kesenjangan produksi yang besar, John Anis mengajak semua pihak untuk mendorong pengembangan bioetanol sebagai solusi berkelanjutan dalam transisi energi.
"Potensinya luar biasa. Mari kita dorong bioetanol sebagai salah satu solusi,” ucap John.
Di sisi lain, ia juga menilai bioetanol sebagai solusi yang paling menarik untuk diimplementasikan, sebab masyarakat tidak perlu mengganti kendaraan yang mereka miliki.
Apabila dibandingkan dengan elektrifikasi kendaraan, masyarakat harus mengganti kendaraan mereka dengan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Penggantian kendaraan tersebut, menurut John, membutuhkan waktu sekitar 10–15 tahun agar EV digunakan secara masif di tengah masyarakat.
“Kan tidak bisa mengganti semua mobil yang ada secara langsung dengan EV, meskipun dapat insentif. Perlu waktu untuk benar-benar ke EV semua,” ucapnya.
Kendaraan-kendaraan besar, seperti pesawat terbang dan kapal kargo, juga tidak memungkinkan untuk menggunakan baterai.
Oleh karena itu, John menilai bahwa biofuel, yang meliputi bioetanol dan biodiesel, merupakan jembatan pengurangan emisi karbon di sektor transportasi.
“Sektor transportasi itu memang masih memerlukan jembatan, apabila melihat kondisi sekarang. Karena itulah, kami mendorong biofuel ini, terutama biodiesel dan kemudian ada bioetanol,” kata John.
Adapun yang menjadi permasalahan dari pengembangan bioetanol adalah harga yang tidak kompetitif. Molase atau tetes tebu yang merupakan bahan baku bioetanol sebagian besar diekspor ke Filipina karena harga ekspornya yang mahal.
Apabila ingin mengembangkan bioetanol yang lebih masif di Indonesia, John merasa perlu ada kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk bahan baku bioetanol, sebagaimana pemerintah menerapkan DMO batu bara untuk sektor kelistrikan.
“Batu bara saja ada DMO, kenapa ini tidak? Harapannya, kalau E10, itu kan pasti pasarnya bergerak dan semua orang akan memproduksi molase juga. Pada akhirnya, dengan sendirinya harga pasar akan lebih murah,” kata John.
E10 adalah bahan bakar yang terdiri dari campuran 10 persen etanol dan 90 persen bensin, yang dapat digunakan pada kendaraan konvensional bertenaga bensin.
Pengembangan bioetanol, kata dia, juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian agar tidak bersaing dengan industri makanan.
“Nanti repot juga kalau nggak ada gula,” ucapnya.
Baca juga: Pengamat: Pemerintah perlu segera susun peta jalan bioetanol
Baca juga: Toyota siap mendukung penggunaan B40 mulai 2025
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025