Perempuan UMKM Sumatra menjahit perubahan lewat tapis dan batik

2 months ago 17
Tidak sekedar saya jualan baju. Saya ingin kembali melestarikan atau mengenalkan kepada anak-anak muda tentang cerita-cerita leluhur yang layak untuk selalu didengungkan

Jakarta (ANTARA) - “Sekarang saya slow living,” tutur Linda Soedibyo sambil tersenyum lebar.

Perempuan pensiunan berusia 50-an itu memutuskan kembali ke Lampung pada 2016 untuk merawat sang ibu yang sakit. Selepas sang ibu berpulang dan Linda pensiun dari pekerjaan formalnya pada 2018, alih-alih kembali ke Jakarta, ia memilih menetap di Kota Metro dan mulai merintis usaha fesyen berbasis wastra.

Linda memang gemar memadupadankan outfit dan menuangkan idenya melalui goresan desain, sangat kontras dengan pekerjaan formal yang selama ini digelutinya. Masa pensiun dan kesempatan untuk kembali ke kampung halaman membuka ruang refleksi lebih lebar bagi Linda. Dari sana, ia mulai menggali nilai dan sejarah wastra.

Ia pun jatuh cinta pada tapis, wastra Lampung yang biasanya hanya dikenakan saat pernikahan dan upacara adat. Ia kagum pada keragaman motif tapis yang menyimpan cerita dan filosofi hidup.

Dari kekaguman ini, Linda melihat celah, betapa jarangnya tapis dikenakan dalam keseharian. Satu keluarga biasanya cukup memiliki beberapa tapis saja yang bisa dipakai secara turun-temurun. Ini membuat Linda berpikir mengenai nasib perajin tapis yang tidak mendapat penghasilan yang cukup karena permintaan tidak bertambah.

Dari titik itu, inovasi dimulai. Linda membuat versi baru dari tapis: tetap bermotif khas, tetap penuh makna, tapi tanpa benang emas. Ia memakai benang biasa agar desain lebih fleksibel dan menjangkau berbagai kalangan. Hasilnya, tapis ready-to-wear berjenama Jan Ayu yang bisa dikenakan orang-orang sebagai outfit untuk pergi ke kantor, ke arisan, bahkan ke mal.

Bersama para mitra perajin dan penjahit yang ia libatkan dalam sistem kemitraan, Linda memproduksi sekitar 50 hingga 70 busana per bulan, yang bisa melonjak hingga ratusan potong ketika terdapat permintaan tertentu. Ia tak mempekerjakan karyawan tetap, hanya mitra. Tidak perlu membeli mesin jahit. Hanya berbekal ide, kain, dan relasi.

“Mimpimu belum besar kalau kamu bisa melaksanakannya sendiri. Sehingga saya berpikir, berarti kalau saya tidak bisa sendirian mengerjakannya (membuat pakaian jadi berbahan tapis), berarti mimpi saya sudah besar. Itulah yang kemudian memunculkan ide kemitraan,” cerita Linda.

Baca juga: Wastra tradisional tunjukkan akulturasi budaya Indonesia dan China

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |