Peneliti ungkap menguap bukan karena kekurangan oksigen

3 hours ago 1

Jakarta (ANTARA) - Peneliti mengatakan menguap adalah perilaku universal yang dilakukan oleh hampir semua makhluk bertulang belakang (vertebrata), bukan karena masalah kekurangan oksigen seperti yang selama ini diyakini.

The Guardian, Minggu, melaporkan ahli perilaku di Johns Hopkins University Profesor Andrew Gallup menjelaskan bahwa kepercayaan lama tentang menguap terjadi karena kekurangan oksigen telah diuji oleh sains, dan kini terbukti salah.

Gallup mengatakan studi yang diterbitkan pada 1980-an membuktikan bahwa memanipulasi kadar gas oksigen atau karbondioksida di udara memang mempengaruhi proses pernapasan, tapi, tidak mempengaruhi frekuensi seseorang menguap.

Baca juga: Sebab orang sering menguap dan alami sakit kepala saat berpuasa

Membuka rahang lebar berdasarkan studi Gallup, bukanlah bagian dari proses pernapasan, melainkan menjalankan fungsi biologis yang berbeda yang diduga sebagai peregangan lokal, mirip dengan peregangan otot di area tubuh lainnya. Hipotesis tersebut sama seperti penelitian lain yang menyebutkan menguap menambah pasokan darah kepada tengkorak, kemudian mengalir kembali kepada vena.

Gallup dan timnya kemudian mengembangkan gagasan bahwa menguap berfungsi sebagai pendingin otak. Hipotesis Gallup dan timnya bukan untuk mengatakan bahwa hipotesis lain telah sepenuhnya dikesampingkan.

Otak menghasilkan panas dari aktivitas saraf. Untuk mendinginkannya, menguap bekerja seperti peregangan besar pada kepala yang meningkatkan sirkulasi darah.

Ketika orang menguap, udara yang ditarik masuk oleh mulut bergerak melintasi permukaan lembap di area mulut dan hidung. Proses itu, mirip udara yang mengalir melewati radiator mobil, membantu membuang panas dari otak melalui penguapan dan pertukaran udara.​Selain pendinginan, menguap juga berfungsi sebagai "tombol transisi" yang membantu otak beralih dari satu keadaan ke keadaan berikutnya: dari mengantuk ke waspada.

Baca juga: Rasa kantuk sebabkan seseorang merasa satu dekade lebih tua

Baca juga: Riset baru indikasikan Long COVID terkait rendahnya kadar oksigen otak

Baca juga: Penyebab munculnya kantuk usai sahur dan berbuka puasa

Penerjemah: Abdu Faisal
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |