Beijing (ANTARA) - China mencatat 1,81 juta pendaftaran pernikahan pada kuartal pertama (Q1) tahun ini, menandai penurunan 8 persen dari periode yang sama pada 2024, demikian menurut data dari Kementerian Urusan Sipil China.
Setelah sembilan tahun berturut-turut mengalami penurunan, angka pendaftaran pernikahan di China sempat mengalami rebound pada 2023. Namun, tren penurunan kembali terjadi pada 2024, dengan angka pendaftaran pernikahan jatuh ke level terendahnya sejak 1980.
Para ahli mengaitkan penurunan secara umum ini dengan menyusutnya populasi orang dalam rentang usia yang layak untuk menikah, perubahan persepsi tentang pernikahan, dan masalah keuangan terkait pernikahan.
"Pada 1980-an, lebih dari 20 juta orang lahir setiap tahunnya di China, namun sejak tahun 2000, angka tersebut turun menjadi sedikit di atas 10 juta setiap tahunnya. Jadi tentu saja, angka dasar untuk pendaftaran pernikahan kini jauh lebih rendah," kata Jiang Quanbao, seorang profesor di institut kajian kependudukan dan pembangunan di Universitas Jiaotong Xi'an di Provinsi Shaanxi, China barat laut.
Li Ting, seorang pakar kependudukan di Universitas Renmin China di Beijing mengatakan tingkat pendidikan yang lebih tinggi berpadu dengan rasa individualisme yang semakin tinggi sehingga secara signifikan menantang pandangan tradisional tentang pernikahan.
"Kini, mahasiswa program master sudah berusia 25 atau 26 tahun saat mereka lulus, dan lulusan PhD biasanya mendekati usia 30 tahun, bahkan lebih tua lagi jika mereka menghabiskan beberapa tahun untuk bekerja terlebih dahulu," kata Tan Kejian, seorang peneliti di Akademi Ilmu Sosial Shanxi di China utara.
"Dulu, anak muda sering menikah pada saat mereka lulus atau mulai bekerja, namun kini banyak yang tidak mempertimbangkan pernikahan sampai mereka berencana untuk memiliki anak," tambah Li.
Selain itu, bagi sebagian anak muda, tetap melajang adalah pilihan yang diambil dengan kesadaran penuh.
Seperti yang dikatakan oleh seorang pengguna situs mikroblog Weibo, "Jika saya menikah, tidak mungkin saya akan menikmati kebebasan seperti yang saya miliki sekarang." Yang lain berkomentar, "Jika saya tidak dapat menemukan orang yang tepat, lebih baik saya tetap melajang daripada menikah."
Warganet lainnya yang aktif di Weibo menyebutkan tekanan hidup, mengatakan bahwa membesarkan anak dapat melelahkan dan kerap kali melibatkan seluruh keluarga termasuk orang tua mereka.
Sosiolog Li Yinhe percaya bahwa meningkatnya jumlah orang lajang berkaitan erat dengan proses urbanisasi dan modernisasi yang sedang berlangsung di China.
"Dulu, wanita yang tidak menikah sering kali tidak memiliki sarana untuk menghidupi diri sendiri. Namun sekarang, wanita sepenuhnya mampu mencari nafkah sendiri dan tidak perlu lagi bergantung pada pria. Akibatnya, keinginan untuk menikah menurun secara signifikan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya," jelasnya.
Meskipun masyarakat China semakin menerima orang yang hidup sendiri, penurunan angka pernikahan juga menyebabkan penurunan angka kelahiran, tren yang memicu meningkatnya keprihatinan publik.
Menanggapi perubahan itu, otoritas berwenang di seluruh China memperkenalkan berbagai insentif untuk mendorong masyarakat yang ramah terhadap pengantin baru.
Sebelumnya pada bulan ini, pemerintah merevisi aturan pendaftaran pernikahan, mengurangi pengurusan dokumen, dan memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi pasangan untuk memilih tempat mendaftarkan pernikahan mereka. Peraturan baru tersebut akan mulai berlaku pada 10 Mei tahun ini.
Beberapa daerah sudah mulai menawarkan insentif untuk mendorong pernikahan. Di sebuah desa di Guangzhou, Provinsi Guangdong, China selatan, pasangan yang baru menikah dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan bonus hingga 40.000 yuan (1 yuan = Rp2.314) atau sekitar 5.490 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.884).
Sementara, Kota Lyuliang di Provinsi Shanxi, China utara menawarkan 1.500 yuan untuk wanita yang menikah pada atau di bawah usia 35 tahun. Selain itu, Provinsi Zhejiang di China timur memperpanjang cuti pernikahan berbayar dari tiga menjadi 13 hari.
China juga menawarkan kenyamanan dan kemudahan yang semakin besar bagi orang dewasa muda yang masih lajang, seiring mulai terbentuknya "ekonomi lajang".
Restoran-restoran mulai memperkenalkan makanan dengan porsi tunggal, pasar apartemen untuk satu orang berkembang pesat, dan peralatan rumah tangga serta peralatan dapur yang ringkas semakin populer. Bahkan, terdapat peningkatan permintaan untuk layanan seperti perjalanan solo yang disesuaikan dan pemotretan pernikahan untuk satu orang.
Li Ting mengatakan selama tiga dekade terakhir, jumlah orang yang memilih untuk tetap melajang seumur hidup di negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang terus meningkat, sebuah tren yang mungkin mencerminkan masa depan pernikahan di China.