Makassar (ANTARA) - Amnesty Internasional Indonesia mengingatkan rencana pemerintah Indonesia merelokasi ribuan warga Gaza yang terluka akibat agresi militer zionis Israel di Palestina ke Pulau Galang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia dengan alasan kemanusiaan dinilai sangat berisiko ,
"Rencana ini harus disikapi dengan kritis," ujar Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena melalui siaran persnya diterima, Senin.
Menurutnya, walau pemerintah Indonesia menyampaikan kebijakan itu atas dasar kemanusiaan, namun jika tidak hati-hati justru sejalan dengan skenario besar Israel dan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump memudahkan pengosongan jalur Gaza dengan memindahkan 2 juta warga.
Ia menegaskan, segala bentuk pemindahan warga Palestina dari wilayah pendudukan di luar kesukarelaan mereka dapat dianggap sebagai kejahatan perang. Indonesia mesti berhati-hati, sebab rencana itu seolah ingin mendukung kependudukan ilegal Israel di Gaza.
Oleh karena itu, Indonesia harus menolak rencana dan segala upaya yang memungkinkan pengosongan terjadi. Kebijakan Indonesia harus jelas tentang soal kemanusiaan, bukan relokasi.
"Intinya, hentikan genosida dan apartheid Israel, gencatan senjata permanen, dan buka jalur kemanusiaan demi mengakhiri kelaparan akut di sana. Bukan merelokasi mereka dari tempat tinggalnya," paparnya menegaskan.
Baca juga: Amnesty sebut penangguhan pelaku ricuh karena masih mahasiswa aktif
Baca juga: Amnesty Internasional Indonesia dukung putusan MK sekolah gratis
Dari sisi waktu, pihaknya juga mempertanyakan keputusan pemerintah tersebut. Karena, sebenarnya rencana evakuasi warga Gaza ini telah ada sejak Januari, namun berhembus kembali setelah selesainya negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Dan apakah itu merupakan bagian dari kesepakatan dengan pemerintahan Donald Trump yang memang pada Februari lalu, mengutarakan keinginan Amerika Serikat untuk mengambil alih jalur Gaza dan menyarankan agar dua juta warga Gaza direlokasi ke beberapa negara tetangga.
Wirya menjelaskan, dari sejarah setengah dari warga Palestina pernah terusir dari wilayah mereka setelah peristiwa Nakba 1948. Populasi Gaza kini merupakan penyintas maupun generasi kedua dari para penyintas peristiwa Nakba 1948.
"Jangan sampai keinginan Indonesia untuk membantu warga Gaza ini malah mendukung terjadinya Nakba baru pasca serangan 7 Oktober 2023," ungkap dia .
Selain itu, dengan tidak menentunya situasi di Gaza, warga Gaza yang direlokasi sementara ke Indonesia berpotensi tidak dapat kembali sehingga membuat situasi menjadi berlarut-larut.
Menjadi pertanyaan kembali, apa Indonesia sudah siap menjamin terpenuhinya hak dasar mereka dalam jangka panjang. Padahal, hingga kini masih ada sekitar 12.000 pengungsi dan pencari suaka di Indonesia yang belum terpenuhi hak dasarnya.
Sebelumnya, pada sidang kabinet Rabu 6 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan agar aparat pemerintah Indonesia memberikan bantuan pengobatan untuk sekitar 2.000 warga Gaza yang menjadi korban perang.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan pemerintah akan menyiapkan Pulau Galang sebagai pusat pengobatan bagi warga Gaza. Sementara Wakil Gubernur Kepri Nyanyang Haris Pratamura kepada media menyatakan, mendukung penuh rencana pemerintah pusat menampung sementara warga Gaza di Pulau tersebut untuk menjalani perawatan medis.
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.