Sleman (ANTARA) - Beberapa orang terapis tampak sibuk menangani para klien di dua ruang berbeda, sementara seorang lainnya memberikan konsultasi. Inilah pemandangan sehari-hari di Rumah Sehat Toms Hepi yang menerapkan metode Traditional Chinese Medicine (TCM/pengobatan tradisional China) di Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Herbal banyak dikonsumsi ketika pandemi. Dulu kita tidak punya pilihan kecuali tutup ketika pandemi, tapi justru mulai banyak yang datang ketika PPKM dicabut karena mereka takut ke rumah sakit atas pertimbangan keamanan," kata Arief Aditama yang akrab dipanggil Tomy ketika dihubungi Xinhua pada Kamis (26/6).
Diakui sang pemilik, praktiknya justru mendapatkan momentum positif ketika pandemi COVID melanda Indonesia pada 2020 silam. Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Sosial (PPKM) oleh pemerintah tidak menyurutkan praktiknya namun justru membawa berkah tersendiri.
Kini, tiga tahun pascapandemi, kliniknya makin populer. Tomy yang memulai praktiknya sejak 2009 silam mengakui jika klien yang datang ke kliniknya semakin bertambah, variatif, dan tak hanya dari area sekitar, namun juga luar kota hingga luar negeri.
"Pengobatan atau obat-obatan TCM sebenarnya sudah lama hadir di sekitar kita, tapi pandemi meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong mereka untuk mencoba berbagai alternatif guna menjaga kesehatan, terutama karena timbulnya kesadaran bahwa menjaga lebih baik daripada mengobati," lanjut pria berusia 47 tahun dengan latar belakang pendidikan kedokteran gigi tersebut.
Tomy sendiri mengaku fokus pada pengembangan pengobatan tradisional dengan menggabungkan antara pengobatan tradisional lokal Jawa dan metode TCM yang telah tersohor di seluruh dunia.
"Kami menggunakan TCM sebagai inti dari metode pengobatan, namun kita kembangkan juga dengan metode pengobatan tradisional lokal, karena keduanya terdapat kesamaan yaitu menggunakan pendekatan holistik," ujar pria dengan ciri khas blangkon tersebut.
Para klien datang dengan berbagai keluhan dan antusias menjajal terapi fisik khas TCM seperti reposisi dan pelenturan sendi tulang belakang, guasa, tuina, dan chuizen, akupunktur, acupressure. Kliniknya rata-rata bisa menangani hingga belasan klien dari berbagai kalangan dan profesi, mulai dari pengemudi ojek online hingga dosen perguruan tinggi, seniman hingga pejabat tinggi.
"Inti dari pengobatannya adalah energi dan bukan sekadar fisik, jika di Jawa ada istilah joyo, maka di China ada chi, jika kita punya jahe dan kayu manis, maka dari TCM kita juga gunakan anchou dan cen ti, itu contohnya," timpal Tomy.
Tak kenal maka tak sayang, pepatah ini cocok disematkan karena para terapisnya pun sebagian merupakan mantan klien Tomy yang kini turut mengembangkan minat menjadi praktisi di bidang kesehatan setelah sembuh atau merasakan sendiri manfaat pengobatan.
"Awalnya saya menderita sakit batu ginjal, saya berkenalan dengan suhu Tomy pada 2013 lalu, menjalani pengobatan, sembuh, tertarik belajar pengobatan TCM dan kini akhirnya menjadi salah satu terapis senior di sini," ujar Aris (36) asal Kudus.
Potensi wisata kesehatan
Seiring waktu dan menyebarnya informasi, wajah-wajah mancanegara pun tampak menyambangi klinik tersebut. Alasan mereka tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjajal berobat ketika singgah di Yogyakarta tersebut antara lain menyadari bahwa praktik TCM atau pun pengobatan Timur terbilang berbiaya tinggi di negara asalnya.
Klien dari Jerman, Belanda, Serbia, hingga total kurang lebih 20 negara disebut pernah menyambangi klinik Tomy yang informasinya menyebar dari mulut ke mulut dari berbagai profesi yang pernah menjadi kliennya.
"Terapi (pengobatan Timur) yang kita anggap normal dan biasa di sini ternyata tergolong mahal dan langka di negara mereka (Eropa). Inilah artinya kita harus menyadari potensi yang bisa digarap dan sangat mungkin pengobatan bisa dijadikan wisata kesehatan."

Pernyataan Tomy tersebut seolah mengamini program wisata kebugaran (wellness tourism) yang tengah dijalankan pemerintah. Seperti dikutip baik dari laman situs Kementerian Pariwisata (Kemenpar), pengembangan wellness tourism disebut menjadi prioritas strategi nasional karena menjawab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, salah satunya pemulihan ekonomi dan kesehatan pasca pandemi. Dari sudut pandang klien atau pasien, TCM pun dinilai sudah berkembang pesat dari masa ke masa dan tak sekadar menjadi alternatif untuk pengobatan medis untuk penyakit yang dideritanya.
Klinik-klinik kesehatan dengan metode pengobatan Timur seperti yang dikelola Tomy menjadi penyumbang implementasi empat pilar yang telah disepakati dalam mengembangkan wellness tourism oleh pemerintah yakni wisata medis, wisata kebugaran, wisata olahraga kesehatan berbasis event olahraga, dan wisata ilmiah kesehatan berbasis MICE.
Pasalnya, tak hanya terapi fisik, aneka ramuan pun turut diracik oleh Tomy ala pengobatan Timur yang sebagian besar turut mengadopsi metode TCM. Ramuan tersebut berwujud herbal untuk energi, stamina, melancarkan energi dan mendinginkan tubuh.
Untuk klien dengan penyakit kronis, Tomy mempraktikkan pengobatan herbal TCM dengan bahan yang didatangkan langsung dari China. Klien yang telah ditanganinya selama ini antara lain mengidap penyakit seperti kanker payudara, kanker otak dan autoimun.
Bagi pemerintah dan pelakunya, harapannya tentu pengobatan tradisional di dalam negeri dapat "naik kelas", otomatis akan turut memicu kepercayaan masyarakat untuk berobat di dalam negeri dibanding berinvestasi kesehatan di luar negeri.
Metode saintek
Tingginya minat dan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap TCM salah satunya dikarenakan kesamaan yang dimiliki oleh pengobatan tradisional lokal dengan metode asal China tersebut.
"Secara sejarah ada kesamaan antara pengobatan tradisional nusantara dengan TCM. Masalahnya kita tidak punya sistem dokumentasi yang baik di masa lalu, semuanya hilang kemungkinan karena berbagai konflik di masa lalu, dijarah pada era kolonial," papar Tomy.
Ketika ditanya pendapatnya tentang masa depan pengobatan ala TCM di Tanah Air, Tomy pun punya harapannya sendiri jika pengobatan tradisional di dalam negeri bisa berjalan beriringan dengan pengobatan modern ala Barat, seperti yang telah diterapkan di China.
"Idealnya pengobatan tradisional dan modern kita bisa berjalan beriringan dan tidak ada yang mengeklaim siapa lebih baik karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing," tambahnya.
Ketika ditanya faktor apa yang menyebabkan pengobatan tradisional dirasa masih belum mendapat tempat sejajar di dunia medis, Tomy punya pendapatnya sendiri.
"Pengobatan lokal kita perlu untuk menjadi lebih scientific untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, karena hal itulah yang telah mampu dibuktikan TCM di negara asalnya, China, dan membuat metode pengobatan tersebut dapat dianggap sejajar dengan pengobatan modern ala Barat," imbuh Tomy.

Dari sudut pandang klien atau pasien, TCM pun dinilai sudah berkembang pesat dari masa ke masa dan tak sekadar menjadi alternatif untuk pengobatan medis untuk penyakit yang dideritanya
"Pengobatan TCM saat ini sudah semakin compact, saya bahkan bisa memesan ramuan yang sudah di-custom untuk kondisi kesehatan badan saya pribadi, dikonsumsi dalam bentuk kapsul dan tidak perlu lagi repot menggondoknya sendiri. Saya pikir ini sangat memudahkan dan menjadi salah satu alasan TCM semakin diterima secara logis," ujar Ian (42), seorang penderita agregrasi trombosit asal Jakarta ketika diwawancara Xinhua pada Sabtu (24/5).
Geliat pengobatan tradisional di Indonesia nyatanya terus berputar. Di dalam negeri sendiri, saat ini institusi kesehatan atau rumah sakit telah terbuka untuk menerapkan pengobatan TCM untuk pasien mereka, seperti yang dilakukan Tzu Chi Hospital di Jakarta.
Di dunia pendidikan, Universitas Airlangga menjadi salah satu universitas negeri yang membuka jurusan terkait pengobatan tradisional TCM, usai kunjungan presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono ke Universitas Tianjin dan Beijing pada 2003 silam. Universitas Indonesia pada 2025 pun turut memperkuat kolaborasi akademik dan riset pengembangan ilmu pengobatan tradisional yang berbasis ilmiah dengan Hubei University of Chinese Medicine (HBUCM).
"Kami melihat peluang besar untuk saling berbagi pengetahuan dan metode antara pengobatan tradisional Indonesia dengan pengobatan tradisional China yang sudah berkembang secara sistematis di HBUCM," ujar Rektor UI Heri Hermansyah di Kampus UI Depok, pada Senin, 14 April 2025, seperti dikutip dari Tempo.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.