Pakar UGM sebut Indonesia bisa gunakan nikel jadi alat tawar tarif AS

4 hours ago 2
Indonesia yang memiliki 34 persen cadangan nikel dunia telah memberi sinyal kemungkinan akan menggunakan mineral penting sebagai alat tawar dalam menghadapi tarif tersebut.

Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Mailinda Eka Yuniza menilai Indonesia berpeluang memanfaatkan cadangan nikel yang melimpah untuk memperkuat posisi tawar menghadapi kebijakan tarif Amerika Serikat (AS).

"Indonesia yang memiliki 34 persen cadangan nikel dunia telah memberi sinyal kemungkinan akan menggunakan mineral penting sebagai alat tawar dalam menghadapi tarif tersebut," ujar Mailinda dalam keterangannya di Yogyakarta, Senin.

Menurutnya, langkah itu serupa dengan strategi Tiongkok yang menghentikan ekspor berbagai jenis mineral penting untuk menekan mitra dagangnya, termasuk AS.

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa strategi tersebut harus dihitung dengan cermat, karena Indonesia tidak sefleksibel Tiongkok dalam mengalihkan ekspor ke pasar lain.

Menurut dia, memanfaatkan nikel sebagai alat tawar memang menjanjikan, tapi di sisi lain juga berisiko memperpanjang konflik dagang.

"Sebagai negara berkembang, Indonesia mungkin tidak sanggup menanggung dampak finansial dari tarif berkepanjangan," ujar dia.

Mailinda menyebut sejauh ini Indonesia cenderung menempuh jalur kooperatif dalam menyikapi tekanan dari AS, antara lain dengan menjanjikan sejumlah konsesi, seperti penurunan kuota impor dan pelonggaran aturan kandungan lokal bagi produk elektronik asal AS.

"Saya kira ini langkah-langkah yang jelas bertujuan mengakhiri konflik dagang dengan cepat," ujar Mailinda.

Namun di sisi lain, ia menilai bahwa kesepakatan dagang yang terlalu terbuka dapat melemahkan kebijakan hilirisasi yang telah lama dibangun Indonesia.

Sejak tahun 2020, Indonesia secara konsisten mendorong pengolahan mineral dalam negeri sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Mailinda mengatakan salah satu opsi diplomatik yang mungkin ditempuh adalah menghidupkan kembali Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) dengan AS.

Namun, ia mengingatkan bahwa kesepakatan semacam itu hampir pasti akan menyertakan tuntutan akses lebih besar AS terhadap mineral penting Indonesia.

"Tanda-tanda itu sudah terlihat dalam pembicaraan perdagangan terbaru, di mana Indonesia menunjukkan kesediaan untuk memperdalam kerja sama dalam rantai pasokan mineral penting, meskipun mekanismenya belum sepenuhnya jelas," ujarnya pula.

Lebih lanjut, Mailinda menuturkan kerangka hukum Indonesia saat ini masih melarang ekspor bijih mineral mentah, sehingga setiap kesepakatan yang membuka akses lebih besar bagi AS kemungkinan memerlukan reformasi legislatif dan regulasi besar.

"Kalau AS mendorong liberalisasi pasar secara luas di sektor ini, Indonesia harus siap melakukan perubahan struktural kebijakan, bukan sekadar memberi komitmen diplomatik," kata dia.

Menurut dia, dunia usaha memerlukan kepastian dalam perdagangan, sehingga jika ketidakpastian dari kebijakan AS terus berlanjut, banyak negara, termasuk Indonesia, bisa terdorong untuk memperkuat perdagangan kawasan.

"Jika tren ini terus berkembang, dunia bisa bergerak menjauh dari kerja sama global menuju sistem di mana hanya kelompok-kelompok negara tertentu yang saling terhubung," ujar Mailinda.

Baca juga: APNI sebut hilirisasi nikel jangan mundur meski tekanan global masif

Baca juga: Membenahi standar ESG agar nikel Indonesia mendunia

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |