Semarang (ANTARA) - Pakar ilmu komunikasi dari Carleton University, Canada Prof. Merlyna Lim mengingatkan bahwa media sosial (medsos) dalam kenyataannya tidak selalu sejalan dengan kebebasan berpikir dan perkembangan demokrasi.
"Di awal (medsos) yang digambarkan egaliter, itu ilusi. Medsos diciptakan untuk kapitalisme, dengan monetisasi data dan dominasi 'market'," katanya saat menyampaikan kuliah umum bukunya berjudul "Social Media and Politics in Southeast Asia" di kampus FISIP Universitas Diponegoro Semarang, Rabu.
Awalnya, memang banyak orang, termasuk pakar yang berpandangan bahwa medsos meningkatkan partisipasi politik dan demokrasi, namun kenyataan yang terjadi bisa juga sebaliknya.
Menurut dia, medsos bekerja dengan sistem algoritma yang didesain lebih efisien untuk menjangkau konsumen, termasuk digunakan pula dalam dunia politik yang sangat berpengaruh dengan iklim demokrasi.
"(Algoritma, red.) Itu menyederhanakan market, cuma peduli yang 'ngefans' sama benci. Jadi, medsos dipolitisasi mengadopsi cara yang sama. Karena 'user'-nya kan sama, manusianya sama," katanya.
Ia menjelaskan bahwa algoritma tidak mengajarkan kritis karena yang dipentingkan hanyalah rasa sehingga akan dengan mudah membuat polarisasi di kalangan masyarakat.
Dicontohkannya, orang yang dengan mudah akan merasakan hal yang sama atau sepemikiran dengan orang lain di medsos, padahal mereka belum sama-sama mengenal.
"Membuat cenderung akhirnya kita berkumpul bukan berdasarkan rasional, tetapi karena 'affect', rasa. Jadi, seolah sama, padahal tidak saling kenal. Bisa idola sama, selera sama. Ini dimanipulasi (algoritma) dengan sengaja," katanya.
Dalam perkembangan, kata dia, muncul apa yang diistilahkannya dengan "algorithmic white branding" yang memanipulasi pencitraan dengan memainkan emosi masyarakat dengan tujuan mencuci citra tokoh politik atau figur publik.
"Para 'political figure' dan kandidat yang punya masa lalu yang suram, abu-abu, gelap, bahkan berdarah kemudian diciptakan (citra) secara baru dan ini ternyata efektif," katanya.
Ia mencontohkan sebagaimana terjadi di Filipina saat pilpres lalu melalui politik kegembiraan dengan menyasar kalangan generasi Z sebagai pemilih pemula dan ketiadaan literasi sejarah yang membuatnya semakin efektif.
"Cara semacam itu digunakan bukan cuma di Filipina, tetapi juga Indonesia, Kamboja, Thailand, dan negara-negara di Asia Tenggara. Mitigasinya ya dengan literasi ya, algoritma itu kerjanya seperti apa? Sudah saatnya dari SD, SMP, SMA itu belajar," katanya.
Hadir juga sebagai pembicara pada kesempatan itu, yakni Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Undip Wijayanto, Ph.D, dan sebagai penanggap adalah Dr. Nurul Hasfo dan Yuwanto, Ph.D.
Menurut Wijayanto Ph.D, medsos pada media 1998-2008 berdampak positif terhadap demokrasi dengan kecenderungan memperkuatnya, tetapi pada 10 tahun terakhir ini trennya justru represif dan propaganda.
Ia mencontohkan teror melalui medsos sebagai salah satu bentuk "digital repression" yang dialami oleh pegiat sipil yang menjadi tren menunjukkan kemunduran demokrasi.
Sementara, Nurul Hasfi menambahkan bahwa buku tersebut bisa menjadi alat kontrol bagi para elite politik, perusahaan marketing politik, dan menjadi rujukan para pegiat literasi digital untuk masyarakat agar lebih menyehatkan proses demokrasi digital.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025