Optimisme dari sebidang tambak udang di Bumi Celebes

1 week ago 7
Kisah inspiratif itu datang dari seorang pengusaha muda bernama Aryo Wiryawan (45)

Jakarta (ANTARA) - Hari-hari ini sikap optimisme bangsa ini sedang diuji. Hal itu datang dari gelombang aksi sekelompok anak muda, khususnya mereka pemain media sosial aktif, yang lantang menyuarakan tagar #KaburAjaDulu.

Tagar #KaburAjaDulu yang sedang menggema di jagad maya itu diasumsikan sebagai ekspresi generasi muda Indonesia atas sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak di Tanah Air ketimbang di negeri orang.

Di tengah gelombang keresahan dalam sepekan terakhir itu, ada sebuah kisah yang menginspirasi dan diharapkan dapat mempertebal optimisme para generasi penerus masa depan bangsa Indonesia. Kisah inspiratif itu datang dari seorang pengusaha muda bernama Aryo Wiryawan (45).

Aryo Wiryawan, pengusaha tambak budidaya udang berkelanjutan atau Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) yang dikembangkan di Desa Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Aryo memilih untuk menatap masa depan Indonesia dengan penuh keyakinan dan berusaha mengubah tantangan yang ada menjadi peluang. Hal itu dilakukannya lewat inovasi budidaya tambak udang berkelanjutan di Desa Lalombi, Kecamatan Banawa Selatan, Donggala, Sulawesi Tengah.

Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki potensi besar, yang hanya perlu dikelola dengan lebih bijaksana dan berkelanjutan.

Bagi dia, Indonesia, yang dikenal dengan kekayaan alam melimpah, memiliki posisi strategis sebagai salah satu produsen tambak udang terbesar di dunia, bahkan sempat menempati urutan kedua dan ketiga global.

Namun memang dalam dua tahun terakhir, posisi Indonesia itu terdegradasi ke urutan lima setelah produksi udang budidaya segar nasional menyusut menjadi 200 ribu ton per tahun.

Di pasar global, negara kompetitor seperti Ekuador, India, China, dan bahkan Vietnam kini lebih mendominasi dengan jumlah produksi hingga 1,2 juta per tahun — jumlah yang dicapai Indonesia medio 2020-2022.

Ia menilai, salah satu indikator keberhasilan negara itu karena mereka berhasil membangun citra produk budidaya udang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Kondisi ini menyorot perhatian Aryo, yang melalui perusahaannya, JALA Tech, ia mengembangkan sistem CSSF sebagai solusi untuk mengatasi tantangan itu.

"Saat ini, Indonesia masih dianggap sebagai pilihan cadangan karena kurangnya branding yang kuat. Kita harus dapat bersaing di pasar internasional dengan cara memperkuat citra dan tentu kualitas produk, serta menjaga keberlanjutan ekosistem yang ada," kata Aryo, saat ditemui di Donggala, Sulawesi Tengah, pertengahan Februari.

Praktisi akuakultur yang kiprahnya juga terkenal di negara Benua Biru, seperti Norwegia, menjelaskan bahwa Indonesia harus mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan tanpa mengorbankan hasil produksi untuk menghasilkan udang tambak berkualitas tinggi yang dapat bersaing di pasar global.

Melalui sistem CSSF yang inovatif, Aryo mengintegrasikan tambak udang dengan mangrove, dan menciptakan ekosistem pesisir yang saling mendukung demi menghasilkan udang berkualitas dengan cara ramah lingkungan.

Dipercaya memanfaatkan nilai investasi sebesar 1,2 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk mengelola 12 hektare tambak di Desa Lalombi, Aryo dan timnya berkomitmen mengembangkan budidaya udang yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan setempat.

Dari 12 hektare yang dikelola, mereka hanya memanfaatkan 3,5 hektare lahan untuk tambak udang, sementara bagian lahan seluas 6,5 hektare lainnya ditanami mangrove dan digunakan untuk membangun kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Sistem itu untuk menjaga kualitas air yang digunakan dalam proses budidaya dan menghindari pencemaran lingkungan dari limbah tambak udang atau lingkungan sekitarnya.

Rangkaian pipa tambak budidaya udang berkelanjutan atau Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) yang dikembangkan di Desa Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Pria bertubuh kurus itu menyakini, kualitas air menjadi aspek kunci dalam keberhasilan budidaya tambak udang. Dengan menggunakan teknologi canggih berbasis IoT, kualitas air dapat dipantau secara terus-menerus, dan memastikan bahwa air yang digunakan dalam tambak tetap bersih dan layak.

Keuntungan finansial dari sistem CSSF ini juga sangat menjanjikan. Setiap hektare tambak mereka di Desa Lalombi yang berada tepat di bibir pantai barat Sulawesi itu diproyeksikan dapat menghasilkan sekitar 35 ton udang vaname segar per siklus yang berlangsung selama empat bulan. Dengan asumsi harga rata-rata Rp62.000 per kilogram, maka satu hektare tambak dapat menghasilkan sekitar Rp2,17 miliar per siklusnya.

Atau total potensi pendapatan yang bisa diperoleh mencapai sekitar Rp24,6 miliar jika ketujuh tambaknya bisa mencapai target produksi 35 ton. Nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil tambak budidaya udang tradisional yang umumnya hanya menghasilkan sekitar 8-20 ton per hektare.

Namun, keberhasilan finansial tidak hanya menjadi tujuan utama, melainkan juga keberlanjutan lingkungan yang menjadi fokus utama dalam sistem CSSF yang JALA kembangkan bersama peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Tadulako - Yayasan Konservasi Indonesia.

Dengan menggunakan sistem itu, maka air dari tambak udang dialirkan kembali ke laut melalui pemompaan yang melewati kolam IPAL dan area mangrove terlebih dahulu. Keberhasilan sistem itu dapat dilihat dengan kualitas air yang masuk dan keluar dari tambak, unsur haranya tetap netral atau sama jernihnya.

Rumah pompa yang mengatur debit air laut dari pantai barat Sulawesi ke tambak budidaya udang berkelanjutan atau Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) yang dikembangkan di Desa Lalombi, Donggala, Sulawesi Tengah. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Belakangan banyak investor asing yang berminat untuk mengadopsi sistem CSSF yang diklaim sebagai inovasi pertama di Asia ini, terutama dari Jepang. Negara yang masyarakatnya dikenal doyan mengonsumsi seafood premium.

Aryo mengungkapkan bahwa investor dari Jepang sangat tertarik untuk berinvestasi dan mengembangkan inovasi CSSF secara luas, karena mereka sadar akan potensi besar yang dimiliki wilayah Indonesia timur, terutama di Sulawesi dan Nusa Tenggara.

“Secara bisnis, pantai barat Sulawesi merupakan pendorong ekonomi masa depan,” kata dia menegaskan.

Orientasi perusahaan teknologi untuk budidaya udang dan ikan yang berbasis di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu bukan sekadar bisnis. Mereka juga memberikan dampak yang signifikan bagi sosial-ekonomi masyarakat lokal di Lalombi, Banawa Selatan.

Aryo berjanji akan memberdayakan secara penuh warga lokal desa setempat untuk mengembangkan budidaya tambak udang berkelanjutan. Hal ini penting demi mengembalikan Desa Lalombi menjadi sentra produksi udang tambak ternama, sebagaimana era 1990-an, atau sebelum produktivitasnya turun karena kerusakan ekosistem mangrove di desa yang berjarak sekitar 64 kilometer dari Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, itu.

Optimisme Aryo Wiryawan dan timnya dalam mengembangkan budidaya udang ramah lingkungan di tengah persaingan ketat global dan krisis iklim saat ini bisa menjadi bukti nyata bahwa peran anak muda sangat dibutuhkan untuk mengelola anugerah kekayaan alam yang ada.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |