OECD proyeksikan pertumbuhan PDB global 2025 melambat jadi 2,9 persen

1 day ago 4

Paris (ANTARA) - Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global diproyeksikan akan melambat dari 3,3 persen pada 2024 menjadi 2,9 persen pada 2025 dan 2026, menurut Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) pada Selasa (3/5).

OECD merevisi turun proyeksi pertumbuhan globalnya, dengan mempertimbangkan asumsi teknis bahwa kebijakan tarif yang diterapkan hingga pertengahan Mei akan tetap diberlakukan, meskipun sejumlah sengketa hukum masih berlangsung.

Dalam Proyeksi Ekonomi terbarunya, OECD merevisi turun proyeksi pertumbuhan globalnya, dengan mempertimbangkan asumsi teknis bahwa kebijakan tarif yang diterapkan hingga pertengahan Mei akan tetap diberlakukan, meskipun sejumlah sengketa hukum masih berlangsung.

OECD memperingatkan bahwa apabila tren-tren saat ini terus berlanjut, seperti meningkatnya hambatan perdagangan, pengetatan kondisi keuangan, melemahnya kepercayaan bisnis dan konsumen, serta meningkatnya ketidakpastian kebijakan, maka semua itu dapat secara signifikan menghambat prospek pertumbuhan global.

OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan melambat secara signifikan menjadi 1,6 persen pada 2025 dan 1,5 persen pada 2026.

Menurut OECD, indikator data lunak (soft data) terkini, seperti survei sentimen konsumen dan bisnis serta ekspektasi inflasi, menunjukkan adanya penurunan signifikan pada pertumbuhan PDB riil di AS.

Untuk kawasan euro, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai 1 persen pada 2025 dan 1,2 persen pada 2026, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya, seiring dengan permintaan luar negeri yang pulih secara bertahap. OECD menambahkan proyeksi untuk kawasan tersebut didukung oleh membaiknya kondisi keuangan dan turunnya harga energi.

Di antara negara-negara dalam blok tersebut, ekonomi Jerman diperkirakan akan tumbuh 0,4 persen pada 2025 dan 1,2 persen pada 2026. Namun, Kepala Ekonom OECD Alvaro Pereira menekankan bahwa proteksionisme dapat menambah tekanan inflasi, serta ekspektasi inflasi telah meningkat secara substansial di beberapa negara.

"Pemulihannya akan didorong oleh permintaan domestik," catat OECD, yang juga menambahkan bahwa konsumsi swasta akan meningkat karena inflasi yang rendah, kenaikan upah nominal, dan menurunnya ketidakpastian kebijakan dalam negeri.

Sedangkan untuk Prancis, OECD memproyeksikan pertumbuhan PDB akan melambat menjadi 0,6 persen pada 2025 karena masih tingginya ketidakpastian terkait kebijakan ekonomi. Namun, ekonomi diproyeksikan mulai pulih secara bertahap dan mencapai pertumbuhan 0,9 persen pada 2026.

Konsumsi swasta akan menjadi mesin pertumbuhan utama pada 2025, karena ekspor akan terdampak oleh meningkatnya ketegangan perdagangan dan investasi akan terhambat akibat meningkatnya ketidakpastian, menurut OECD.

Meski begitu, OECD memperkirakan bahwa pemulihan ekonomi Prancis pada 2026 akan didorong oleh menguatnya investasi dan tetap stabilnya belanja konsumen.

Mengenai inflasi utama, OECD mengatakan bahwa ekonomi negara-negara anggota G20 diperkirakan akan mengalami penurunan inflasi dari 6,2 persen pada 2024 menjadi 3,6 persen pada 2025, dan selanjutnya menjadi 3,2 persen pada 2026.

"Inflasi di negara-negara G20 diperkirakan akan menurun secara bertahap hingga 2026, dengan dampak inflasi akibat hambatan perdagangan yang lebih tinggi diimbangi oleh penurunan harga minyak," kata OECD dalam proyeksi ekonominya.

Namun, Kepala Ekonom OECD Alvaro Pereira menekankan bahwa proteksionisme dapat menambah tekanan inflasi, serta ekspektasi inflasi telah meningkat secara substansial di beberapa negara.

Inflasi tahunan di AS diperkirakan akan melonjak hingga 3,9 persen pada akhir 2025, seiring penerapan tarif baru yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen, kata OECD.

Inflasi utama di kawasan euro diproyeksikan akan terus melandai, ungkap OECD.

Pereira mengimbau kepada pemerintah untuk bekerja sama mengatasi ketidakpastian dan menjalankan reformasi guna mendorong pertumbuhan dan lapangan kerja.

"Perjanjian perdagangan untuk mengatasi ketegangan yang ada dan mengurangi atau menghilangkan hambatan harus disertai dengan lebih banyak upaya guna meningkatkan kerja sama multilateral," tutur Pereira.

Pereira menyarankan agar pemerintah juga mengatasi berbagai tantangan domestik untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan standar hidup secara berkelanjutan, dengan mendorong bisnis dan investasi publik serta dengan menjalankan reformasi struktural yang meningkatkan produktivitas guna menambah daya saing ekonomi mereka.

Pewarta: Xinhua
Editor: Martha Herlinawati Simanjuntak
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |