Nelayan Gaza berjuang untuk bertahan hidup di tengah blokade

2 weeks ago 8

Gaza (ANTARA) - Setiap pagi, jauh sebelum matahari menyingsing di cakrawala, Salim Abu Rayala, seorang nelayan Palestina dari kamp pengungsi Al-Shati di sebelah barat Gaza melepaskan ikatan perahunya, sebuah perahu kayu yang telah lapuk akibat cuaca dan selanjutnya mendorong perahu itu menuju perairan Mediterania.

Abu Rayala hafal betul sifat dualisme laut. Di satu sisi, laut dapat memberikannya hasil tangkapan yang baik, sedangkan di sisi lain, laut dapat merenggut nyawanya. Namun, ayah delapan anak itu tidak mempunyai pilihan lain. "Saya harus berjuang untuk keluarga saya," ujarnya.

Di usianya yang kini menginjak 55 tahun, Abu Rayala menghabiskan lebih dari tiga dekade untuk menangkap ikan sarden, belanak, dan ikan kerisi di sepanjang pesisir pantai Gaza. Namun, sejak pecahnya konflik Israel-Hamas di Jalur Gaza pada Oktober 2023, lautan berubah menjadi tempat yang penuh bahaya, keputusasaan, dan harapan yang kian susut.

"Saya tetap melaut setiap hari, meskipun terkadang tidak mendapatkan apa-apa. Beberapa hari, saya berlayar cukup jauh untuk menebar jala, namun harus kembali dengan tangan hampa. Saya mempertaruhkan nyawa saya untuk hal yang sia-sia, tetapi pilihan apa yang saya miliki?" kata Abu Rayala.

Nelayan Palestina terlihat di pelabuhan Gaza di Kota Gaza pada 20 April 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad

Dengan pembatasan ketat dari Israel terhadap akses ke perairan untuk menangkap ikan di Gaza, nelayan setempat terus-menerus menghadapi ancaman ditembak, dilecehkan atau ditangkap jika mereka keluar dari batas yang ditetapkan.

"Terkadang, mereka (tentara Israel) menembak ke udara. Di lain waktu, mereka menargetkan mesin perahu. Saya sudah pernah melihat teman-teman saya terluka dan perahu mereka hancur. Namun, kami tetap bertahan, kami punya keluarga yang harus dinafkahi." kenang Abu Rayala.

Karena serangan Israel terus berlanjut, industri perikanan kini berada di ambang kehancuran total, menghadapi berbagai kendala seperti kelangkaan bahan bakar dan kurangnya suku cadang.

"Dulu, saya biasa membawa pulang ikan untuk makan malam. Sekarang, saya menjual apa pun hasil tangkapan saya demi membeli beras, minyak, dan sayuran. Ini bukan lagi soal memberi makanan bergizi bagi keluarga saya, melainkan soal bertahan hidup," tutur Abu Rayala.

Setiap kilogram ikan dijual seharga 30 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.862). "Harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum perang, tetapi saya tetap tidak bisa menghasilkan nafkah," keluh Abu Rayala.

Seorang nelayan Palestina terlihat di pantai kota Khan Younis, selatan Jalur Gaza pada 22 Oktober 2024. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad

Di seluruh wilayah pesisir Gaza, pemandangan serupa terjadi setiap hari. Ribuan nelayan mengungsi atau bahkan terpaksa melepas profesi mereka. Banyak dari mereka yang beralih ke mata pencaharian lain, bahkan menukar alat menangkap ikan mereka dengan gerobak dorong atau mengumpulkan kayu bakar dari gedung-gedung yang dibom.

Ahed Baker, seorang nelayan lain di kamp pengungsi Al-Shati terlihat sedang menambal jaring. Perahu kecilnya sudah tidak melaut selama lima pekan. "Bahan bakar terlalu mahal, dan saya bahkan tidak punya umpan," katanya kepada Xinhua.

"Dahulu, laut adalah sumber penghidupan kami. Namun kini, laut sudah diblokir, rusak, dan penuh dengan bahaya. Tidak ada lagi yang tersisa bagi kami, tanah kering. Langit menghujani kami dengan bom dan meskipun laut kosong, laut tetap menjadi satu-satunya tempat yang benar-benar saya ketahui untuk saya arungi," tuturnya.

Seorang nelayan Palestina terlihat di pelabuhan Gaza di Kota Gaza, pada 20 April 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad

Pewarta: Xinhua
Editor: Benardy Ferdiansyah
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |