Koba, Babel, (ANTARA) - Asap tipis mengepul dari tumpukan jerami yang dibakar di hamparan sawah Desa Namang, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulaian Bangka Belitung.
Suara lesung bertalu-talu ditumbuk para petani seolah mengiringi kepulan asap, sementara anak-anak sekolah ikut mengayun batang padi, seolah menidurkan bayi.
Kemeriahan itu adalah bagian dari pesta adat Murok Jerami yang kembali digelar pada Selasa (9/9/2025). Tradisi tahunan warisan Suku Mengkanau ini masih bertahan hingga kini, meski komunitasnya sudah menjadi minoritas.
Sejarah mencatat, sekitar 350 tahun lalu, Desa Namang dikenal sebagai Kampung Mengkanau yaitu komunitas Mengkanau yang mendiami pedalaman hutan Pelawan. Mereka hidup dari bertani dan berladang, serta diyakini sebagai bagian dari keturunan masa kejayaan Sriwijaya.
Hidup mereka lekat dengan alam. Hutan menyediakan rotan, kayu, dan obat-obatan, sementara sawah dan ladang memberi padi serta umbi-umbian. Dari pola hidup itulah lahir tradisi Murok Jerami, sebuah ungkapan syukur kepada bumi yang memberi kehidupan.
Kini jejak itu tidak lagi mudah untuk dikenali. Sebagian besar keturunan Mengkanau telah berbaur dengan penduduk lain. Bahasa daerah yang dulu digunakan semakin jarang terdengar, berganti dengan bahasa Melayu Bangka. Namun satu hal yang masih tegak berdiri adalah ritual syukur panen yang setiap tahun digelar di sawah desa.
Murok Jerami dimaknai sebagai ungkapan syukur atas panen. Prosesi dimulai dengan menebar padi, mengayunkannya seperti bayi, lalu berdoa bersama, membakar jerami, dan menumbuk padi di lesung.
Setiap tahapan sarat makna. Jerami yang dibakar dipercaya sebagai simbol pelepasan beban. Padi yang diayun dianggap sebagai penghormatan, seolah bayi yang dijaga penuh kasih sayang. Sementara suara lesung yang bertalu-talu menjadi lambang kebersamaan: bekerja bersama, makan bersama, dan berbagi hasil panen bersama.
Bagi masyarakat Namang, padi bukan sekadar bahan pangan, tetapi bagian dari sumber kehidupan. Ada keyakinan bahwa memperlakukan padi dengan hormat akan membuat hasil panen lebih baik. Pesan itu diwariskan turun-temurun, sekaligus mengajarkan rasa syukur yang sederhana namun mendalam.
Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman menilai Murok Jerami bukan sekadar prosesi adat, melainkan warisan budaya yang sarat makna. Ia memandang nilai kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam yang terkandung dalam tradisi ini masih sangat relevan untuk kehidupan masyarakat modern.
Pelestarian tradisi lokal seperti Murok Jerami, menurut dia, menjadi cara terbaik menjaga identitas masyarakat Bangka Tengah. Pemerintah daerah setempat berkomitmen menjaga agar tradisi Murok Jerami tidak berhenti hanya sebagai tontonan tahunan, tetapi berkembang menjadi ruang edukasi budaya bagi generasi muda sekaligus agenda wisata yang mampu menggerakkan ekonomi desa.
Pengakuan Murok Jerami sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) Nasional dianggapnya sebagai momentum untuk memperkuat identitas Bangka Tengah.
Dengan legitimasi itu, tradisi yang lahir dari Suku Mengkanau diyakini bisa tumbuh menjadi ikon budaya daerah, bahkan berpotensi dikenal hingga mancanegara.
Baca juga: Pemkab Bangka Tengah lestarikan Suku Mengkanau
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.