Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati menyampaikan penilaian Menkeu AS Scott Bessent, bahwa proses penyeimbangan defisit perdagangan AS terhadap negara-negara mitra diperkirakan akan memakan waktu antara dua hingga tiga tahun.
Hal itu disampaikan usai pertemuan dengan Menkeu AS Scott Bessent, dalam rangkaian negosiasi tarif dan IMF Spring Meeting 2025 di Washington, DC.
“Rebalancing process ini akan membutuhkan waktu hingga dua hingga tiga tahun, tapi itu tergantung negara mana yang akan dan sedang akan dinegosiasikan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Perkembangan Lanjutan Negosiasi Dagang Indonesia-Amerika Serikat secara daring di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan, pemerintah AS saat ini tengah mendorong kebijakan penyeimbangan kembali hubungan dagang dengan mitra-mitranya, baik melalui penyesuaian kebijakan dalam negeri maupun dengan mendorong mitra dagangnya melakukan koreksi.
Salah satu instrumen kebijakan yang tengah digunakan adalah tarif resiprokal, yang sebagian di antaranya masih diberlakukan.
Kebijakan tarif tersebut dinilai mulai berdampak terhadap penurunan volume perdagangan global serta menekan outlook pertumbuhan ekonomi dunia.
Indonesia sendiri dikenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen. Sejak kebijakan tarif diberlakukan, Indonesia secara aktif merespons dengan berkomitmen melakukan serangkaian negosiasi dan diplomasi dagang ke AS.
Tim negosiasi Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menggelar pertemuan dengan sejumlah pejabat tinggi AS, seperti Perwakilan Dagang AS (USTR) Jamieson Greer, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, hingga Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Direktur Dewan Ekonomi Nasional Kevin Hassett.
Airlangga menyatakan bahwa Indonesia mendapatkan apresiasi dari pemerintah dan pelaku usaha AS karena bergerak cepat dan menyampaikan proposal kerja sama yang komprehensif.
“Secara keseluruhan, baik itu Pemerintah Amerika Serikat, asosiasi, maupun dunia usaha mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan oleh Indonesia,” tuturnya.
Dalam proses perundingan, Indonesia menyodorkan lima poin manfaat utama dalam proposalnya, mulai dari ketahanan energi nasional, akses pasar ekspor, deregulasi usaha dan investasi, kerja sama rantai pasok industri strategis dan mineral kritis, hingga akses teknologi dan inovasi.
Kedua negara telah menyepakati pembahasan teknis yang lebih intensif dalam dua pekan ke depan untuk mencari solusi konkret dan saling menguntungkan.
Sebagai dasar hukum kerja sama, Indonesia dan USTR juga telah menandatangani Non-Disclosure Agreement (NDA) untuk Bilateral Agreement on Reciprocal Trade, Investment, and Economic Security.
“Karena outlook pertumbuhan ekonomi dunia mengalami penurunan dan perdagangan juga, volume-nya juga akan terkena penurunan, maka tentu kita di dalam negeri, seluruh pelaku ekonomi ya kita harus bersiap-siap dan juga perlu mencari alternatif pasar baru dan karena persaingan akan semakin ketat. Tentu kita harus mendorong competitiveness ataupun bagaimana daya saing itu diperkuat. Dan yang ketiga kita perlu juga melakukan intraperdagangan yang lebih dalam dengan rekan kita di ASEAN,” kata Airlangga.
Baca juga: Menkeu jajaki peluang pendanaan EIB untuk transportasi rendah emisi
Baca juga: Sri Mulyani gali peluang kerja sama Danantara dengan Bank Dunia
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2025