Jakarta (ANTARA) - Keputusan pemerintah untuk memperluas lahan sawah harus disambut sepenuhnya, karena menyangkut harkat dan martabat serta keberlanjutan bangsa dan negara di masa mendatang.
Mengapa? Pertama, pengalaman COVID-19 membuktikan bahwa saat pasokan shortage, sekalipun devisa untuk membeli tersedia, tetapi bahan pangan tidak dijual negara pemiliknya, dengan alasan untuk memenuhi kedaulatan pangan dalam negeri sendiri.
Kedua, harganya melambung, sehingga menekan daya beli rakyat kecil dan miskin. Implikasinya rakyat semakin terpuruk, karena 60 persen kebutuhan mereka untuk pangan.
Ketiga, berdasarkan data BPS (2023), impor pangan Indonesia untuk komoditas gandum, beras, dan jagung mencapai 5 miliar dolar AS dan dipastikan terus melambung apabila tidak ada terobosan fundamental untuk menyelesaikan pasokan produksi pangan.
Oleh karena itulah, Pemerintah Presiden Prabowo Subianto dalam janji kampanyenya menyatakan bahwa Indonesia harus mencapai swasembada pangan, khususnya beras dan jagung dalam 2 tahun, menciptakan 28 juta lapangan kerja baru dalam 3 tahun, sehingga pertumbuhan ekonomi mencapai 8-15 persen per tahun.
Perluasan lahan pertanian, utamanya sawah, adalah solusi fundamental yang konkret dan operasional, karena mampu menggerakkan perekonomian secara masif.
Selain itu, juga akan menggerakkan sektor produksi, pengolahan, pemasaran dan jasa dari hulu, on farm, dan hilir.
Mendongkrak produksi pangan untuk swasembada pangan, berarti menciptakan lapangan kerja baru, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, merata, dan mereduksi belanja devisa, bahkan sebaliknya menjadi penghasil devisa. Pendekatan tersebut sejalan dengan amanat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Transformasi tersebut juga akan mengubah stigma Indonesia sebagai negara pengimpor menjadi pengekspor pangan penting.
Tantangan yang harus dihadapi memang tidak mudah, lahan subur untuk perluasan sawah baru sudah tidak tersedia, lahan yang tersedia didominasi oleh lahan rawa sulfat masam, jaraknya jauh di pedalaman dengan infrastruktur sangat terbatas.
Ironisnya, sawah existing yang subur dan beririgasi teknis yang dibangun pada awal pemerintahan Orde Baru itu dengan pinjaman luar negeri lebih banyak mengalami alih fungsi lahan akibat UU 41/2008 hanya menjadi macan kertas, karena tidak mampu mengendalikan alih fungsi lahan sawah.
Pilihan lahan yang tersedia hanya lahan marginal, bahkan pada tahun 1980-an lahan tersebut dikategorikan lahan yang tidak sesuai (unsuitable).
Tanah tersebut adalah bagian dari lahan rawa yang tersebar luas di Indonesia, yaitu lahan rawa sulfat masam. Prof. Tejoyowono (alm), ahli pertanian dari UGM, bahkan mengatakan bahwa semua hal muskil dapat dijumpai pada lahan seperti ini.
Suka atau tidak, lahan itulah yang tersedia, karena Allah hanya sekali saja menciptakan tanah, sehingga semua harus berdamai dengan lahan tersebut dan memanfaatkan sesuai dengan kepentingan nasional.
Itulah gunanya para ahli dan pakar untuk memecahkan dan memberi solusi terhadap persoalan ini.
Pertanyaannya, bagaimana cara atau solusi memberdayakannya agar lahan marginal tersebut produktif?
Langkah awalnya adalah mengenali sifat, ciri, dan watak dari jenis lahan ini agar perlakuan budi daya mengadaptasi karakteristik penciri tanah sulfat masam.
Ciri rawa
Potensi lahan rawa untuk pengembangan pertanian sudah diidentifikasi para pakar dari Belanda.
Maka tidak heran pembukaan lahan rawa di Indonesia dimulai pada saat pemerintahan Kolonial Belanda yang dilakukan di Kalimantan, dengan dibangunnya saluran besar penghubung sungai Barito dengan Sungai Kapuas Murung, yang dikenal dengan Anji Serapat.
Anjir ini sekaligus sebagai penghubung Kota Banjarmasin dengan Kuala Kapuas. Penggalian saluran ini dimulai tahun 1890 dengan tenaga manusia, tetapi kemudian diperdalam dengan kapal keruk pada tahun 1935.
Anjir Tamban kemudian dibangun pada tahun 1920 sebagai daerah koloni baru penduduk Jawa untuk usaha perkebunan kelapa di lahan rawa. Pengerukan ulang dilakukan pada tahun 1960.
Ada dua jenis tanah yang bermasalah yang terbentuk di lahan rawa, yaitu tanah gambut dan tanah sulfat masam. Keduanya terbentuk karena ekosistem rawa yang mendukungnya.
Pembahasan tulisan ini difokuskan pada tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam merupakan bagian dari tanah yang khas di lahan rawa, terbentuk dari bahan induk dan lingkungan rawa, yaitu bahan induk berasal dari endapan sungai (fluviatil) yang mengandung besi (Fe) dan endapan laut (marin) yang mengandung sulfur (S) dalam kondisi lingkungan tergenang (reduktif).
Jenis tanah ini banyak dijumpai di lahan rawa atau di estuarine sepanjang muara sungai dan pedalaman yang umumnya mengalami pasang surut air laut.
Penciri utama jenis tanah ini adalah kandungan pirit (FeS2), sejenis mineral yang mempunyai ciri stabil jika tergenang, sifatnya tidak berubah dan tidak menyebabkan perubahan apapun terhadap sifat dan wataknya pada saat dia tergenang.
Jika dilakukan pembukaan atau reklamasi, maka tanah jenis ini akan terekspos terhadap udara, dalam istilah kimia disebut mengalami oksidasi, sehingga mineral pirit ini akan menjadi asam sulfat (H2SO4), dan menyebabkan terjadinya kemasaman tanah yang ekstrem (pH kurang dari 3,5).
Keadaan ini dipastikan ketersediaan hara tanah makro menjadi sangat rendah, bahkan meningkatkan kandungan unsur bersifat racun bagi tanaman.
Hal fundamental yang harus dimitigasi adalah terjadinya oksidasi akibat over drainage. Oleh karena itu, wajib hukumnya menjaga muka air tanah, mengalirkan air tawar (fresh water) dan melakukan pencucian pirit untuk mengurangi racun dan menurunkan kemasaman tanah, agar dapat digunakan untuk budi daya padi.
Jika terjadi over drainage, maka pH bisa anjlok sampai 3, sehingga tidak ada tanaman pangan yang mampu hidup.
Implikasinya, tanah akan bongkor, bahkan rumput enggan hidup, biaya produksi menjadi sangat mahal dan risiko gagal panennya tinggi. (Bersambung).
*) Dr Gatot I, Dr Chendi T, dan Dr Destika C adalah Analis Kebijakan di Kementerian Pertanian (Kementan) dan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Pertanian (BRIN)
Copyright © ANTARA 2025