Mengukur dampak beras SPHP di tengah lonjakan harga-harga

1 month ago 13

Jakarta (ANTARA) - Pasar Induk Rau di Kota Serang, Banten, pagi ini menjadi saksi dinamika ekonomi yang jarang terlihat dari balik laporan angka-angka statistik.

Sejumlah pejabat mampir untuk meninjau. Dalam rombongan kecil itu ada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, dan Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani. Informasinya mereka hadir untuk memantau langsung harga dan ketersediaan beras.

Kedatangan para pemangku kebijakan ini diharapkan bukan sekadar seremoni, melainkan bagian dari langkah strategis pemerintah menjaga daya beli masyarakat di tengah lonjakan harga beras premium yang dalam beberapa bulan terakhir mencapai 33 persen.

Di pasar yang ramai itu, program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) menjadi tumpuan harapan banyak orang.

Di hadapan para pedagang dan pembeli, Mendagri Tito menegaskan bahwa SPHP menjadi instrumen utama dalam menahan gejolak harga pangan.

Beras SPHP yang disediakan Perum Bulog dijual dengan harga Rp12.500 per kilogram atau Rp65.000 per kemasan lima kilogram.

Dengan kualitas yang terjaga dan harga yang terjangkau, program ini memberikan akses nyata bagi masyarakat, khususnya kelompok berpendapatan rendah, untuk memenuhi kebutuhan pangan tanpa harus mengorbankan pengeluaran lain yang sama pentingnya.

Dalam konteks ekonomi makro, intervensi ini secara langsung membantu menahan laju inflasi pangan yang kerap menjadi pemicu utama kenaikan inflasi umum.

Inflasi Juli 2025 tercatat sebesar 2,37 persen secara tahunan, menurut Badan Pusat Statistik. Angka ini relatif stabil dan berada dalam kisaran target pemerintah sebesar 1,5 hingga 3,5 persen.

Namun, perlu dicatat bahwa kontribusi pangan, khususnya beras, terhadap inflasi sangat signifikan.

Di Indonesia, beras bukan sekadar komoditas, melainkan indikator sosial-ekonomi yang menentukan daya beli sebagian besar rumah tangga.

Dengan menjaga harga beras tetap terkendali melalui program SPHP, pemerintah sesungguhnya sedang melindungi fondasi konsumsi domestik yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.


Program SPHP

Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani, mengungkapkan bahwa pihaknya menargetkan penyaluran 1,3 juta ton beras SPHP hingga akhir 2025, dari total stok beras nasional yang mencapai 4,2 juta ton.

Dengan 1,3 juta ton dialokasikan khusus untuk program SPHP dan 300 ribu ton untuk bantuan pangan lainnya, kebijakan ini dirancang untuk menjawab tantangan jangka pendek dan menyiapkan ketahanan stok jangka panjang.

Pendekatan ini penting karena gejolak harga beras global, perubahan iklim, dan gangguan rantai pasok internasional dapat berdampak langsung pada Indonesia, mengingat sebagian kebutuhan beras nasional juga masih ditopang oleh impor.

Distribusi beras SPHP dilakukan secara merata melalui pedagang pasar tradisional, koperasi desa, TNI-Polri, hingga jaringan ritel modern seperti Alfamart, Indomaret, dan Hypermart.

Pemerintah bahkan memanfaatkan aplikasi Klik SPHP untuk memantau pergerakan stok secara real-time di tingkat pengecer.

Inovasi ini menjadi bagian dari modernisasi tata kelola pangan berbasis data, yang tidak hanya meningkatkan transparansi distribusi tetapi juga membantu perumusan kebijakan berbasis bukti.

Dengan pemantauan digital, potensi kelangkaan dapat diantisipasi lebih cepat, sehingga stok tetap terjaga dan distribusi berlangsung adil.

Sinergi lintas lembaga juga memainkan peran penting. Keberhasilan menjaga stabilitas harga beras di Banten, misalnya, tidak lepas dari kolaborasi antara Bulog, Bapanas, Pemerintah Kota Serang, dan Pemerintah Provinsi Banten.

Model kerja sama ini mencerminkan pendekatan whole of government dalam pengelolaan pangan, yang idealnya dapat direplikasi di daerah lain.

Dalam konteks ekonomi makro, koordinasi lintas sektor seperti ini penting untuk memastikan kebijakan pusat dan daerah bergerak seiring, sehingga intervensi harga pangan memberikan dampak optimal terhadap stabilitas inflasi dan keseimbangan konsumsi nasional.

Dampak program SPHP terhadap rumah tangga tidak hanya soal harga, tetapi juga terkait kualitas hidup. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga Indonesia, konsumsi pangan masih menyumbang porsi terbesar, sekitar 55 persen dari total pengeluaran pada kelompok masyarakat menengah bawah.

Dengan harga beras yang terkendali, keluarga memiliki ruang fiskal lebih besar untuk memenuhi kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

Artinya, keberhasilan SPHP berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan jangka panjang, sekaligus memperkuat daya beli domestik yang menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Namun, kebijakan ini juga perlu dipahami dalam kerangka keberlanjutan fiskal. Program SPHP melibatkan intervensi pemerintah melalui subsidi harga dan pengelolaan stok.

Tanpa desain kebijakan yang tepat, beban fiskal berpotensi meningkat, terutama jika intervensi harus dilakukan berulang kali untuk mengatasi gejolak harga global.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyeimbangkan antara stabilisasi jangka pendek dengan kebijakan struktural jangka panjang, misalnya meningkatkan produktivitas pertanian, memperkuat cadangan pangan, dan mengoptimalkan teknologi untuk efisiensi rantai pasok.


Relatif stabil

Kunjungan sejumlah pejabat ke Pasar Induk Rau juga mencakup peninjauan komoditas lain seperti daging ayam, bawang, tomat, dan minyak goreng.

Hasilnya menunjukkan sebagian besar harga kebutuhan pokok masih relatif stabil. Fakta ini menunjukkan bahwa pendekatan pengendalian inflasi pangan melalui program SPHP berdampak positif terhadap stabilitas harga komoditas lainnya.

Di sisi lain, keterjangkauan harga pangan memberi efek domino terhadap konsumsi rumah tangga, yang menjadi penyumbang terbesar pada produk domestik bruto (PDB).

Ketika masyarakat memiliki daya beli yang terjaga, permintaan domestik meningkat, dan ini membantu menopang pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.

Namun, menjaga stabilitas pangan bukan sekadar soal distribusi stok, melainkan juga soal memperkuat ketahanan pangan jangka panjang.

Pemerintah perlu memanfaatkan momentum keberhasilan SPHP untuk mendorong kebijakan yang lebih holistik, termasuk investasi pada infrastruktur pertanian, pemanfaatan teknologi digital untuk prediksi panen, dan optimalisasi lahan produktif.

Pendekatan ini akan mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan kapasitas domestik menghadapi volatilitas harga pangan global.

Selain itu, pemberdayaan petani dan koperasi lokal menjadi kunci penting agar ekosistem pangan nasional tumbuh lebih inklusif dan berkeadilan.

Pemerintah juga tengah membangun sistem pemantauan terintegrasi untuk mengevaluasi efektivitas SPHP secara berkala.

Melalui data yang transparan dan dapat diakses publik, masyarakat dapat memahami kondisi stok pangan sekaligus ikut berpartisipasi dalam menjaga keseimbangan pasokan.

Inisiatif ini bukan hanya meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga memperkuat partisipasi sosial dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan.

Masyarakat memiliki peran penting dalam keberhasilan program, baik sebagai konsumen cerdas yang memanfaatkan beras SPHP dengan bijak maupun sebagai pengawas distribusi yang memastikan akses tetap adil.

Program SPHP pada akhirnya menggambarkan bagaimana kebijakan publik yang dirancang secara inklusif dapat menjawab persoalan ekonomi makro sekaligus memberikan dampak nyata di tingkat mikro.

Dengan kombinasi antara teknologi, sinergi lintas lembaga, dan partisipasi masyarakat, stabilitas harga beras dapat dijaga, inflasi pangan terkendali, dan daya beli rumah tangga terlindungi.

Keberhasilan ini menjadi pijakan strategis untuk memperkuat fondasi ketahanan pangan nasional, yang pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |