Jakarta (ANTARA) - Kawasan industri di Indonesia, saat ini berada di persimpangan jalan historis. Kita sudah melihat Karawang dengan hiruk-pikuk pabrik otomotifnya, dan Batam yang menjembatani Asia dengan elektronik.
Model pembangunan industri konvensional yang mengandalkan biaya tenaga kerja murah dan mengabaikan output limbah tidak lagi relevan, bahkan menjadi beban di era perubahan iklim dan disrupsi teknologi.
Masalah akut yang kita hadapi kini adalah ketimpangan spasial. Sebanyak 59,4 persen Kawasan Industri (KI) masih terpusat di Jawa, sementara luasan lahan industri di luar Jawa mencapai 60,4 persen dari total luasan nasional.
Ketidakmerataan menyisakan ironi: Jawa padat dan minim ruang, sementara luar Jawa kaya sumber daya alam (SDA), tapi minim infrastruktur pendukung yang memadai.
Lebih parah lagi, masalah lahan dan tata ruang, termasuk penerbitan pola ruang baru, seperti lahan sawah dilindungi (LSD), masih menjadi duri dalam daging bagi investor, seperti dicatat dalam dokumen Kemenperin yang disajikan di Batang Industrial Park (BIP) 2025.
Jika transformasi tidak segera dilakukan, kawasan industri hanya akan menjadi kluster polusi yang mahal, bukan motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan.
Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian telah melihat arah tersebut. Visi pengembangan kawasan industri tidak lagi sekadar membangun kotak pabrik, melainkan harus bertransformasi menjadi Eco-Industrial Park (EIP).
Mengacu pada konsep EIP, industri dituntut untuk menerapkan ekonomi sirkular dan simbiosis industri (industrial symbiosis/synergies).
Gagasan tersebut bersifat fundamental: melihat limbah bukan sebagai sampah, melainkan sebagai sumber daya. Limbah panas dari pabrik A bisa menjadi energi untuk pabrik B; air limbah yang telah diolah dari perusahaan tekstil bisa digunakan untuk kebutuhan pendinginan di industri baja.
Model tersebut secara langsung memecahkan masalah lingkungan (dengan menetapkan toleransi rendah terhadap limbah) dan meningkatkan efisiensi ekonomi kolektif melalui Resource Efficiency and Cleaner Production.
Transformasi KI/KIT menjadi EIP bukan pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan daya saing di pasar global yang semakin ketat dan peduli pada faktor environmental, social, and governance (ESG). Transformasi ini merupakan lompatan dari Generasi ke-3 KI Modern menuju Generasi ke-4 KI EIP.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































