Menggenggam asa di hutan mangrove Kutawaru Cilacap

1 month ago 12
Yang dulu nganggur jadi punya kegiatan. Yang dulu tidak peduli lingkungan, sekarang ikut menjaga. Pendapatan ada, kesadaran juga tumbuh

Cilacap (ANTARA) - Pagi itu angin laut bertiup lembut dari Segara Anakan, membawa aroma asin bercampur lumpur basah yang khas dari pesisir Kelurahan Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Kawanan burung beterbangan rendah di atas permukaan air, sesekali hinggap di cabang pohon mangrove yang rimbun. Di antara kicauan burung dan desir ombak, seorang lelaki berkaus biru tua berjalan santai menyusuri jembatan bambu. Dialah Naswan (56), Ketua Kelompok Sida Asih, yang selama bertahun-tahun menjadi garda terdepan menjaga hutan mangrove di daerah ini.

“Dulu di sini gundul. Tanah habis digerus abrasi, tiap tahun makin dekat ke rumah warga,” katanya, sambil menunjuk ke arah lahan yang kini tertutup vegetasi mangrove.

Cerita Naswan berawal dari mendiang ayahnya, Kartosaryan, yang pada 1990-an mulai menanam mangrove di lahan seluas 2 hektare. Saat itu, tujuan utamanya sederhana: menahan abrasi agar tanah kampung tidak hilang ke laut. Bibit ditanam dengan peralatan seadanya, perawatan dilakukan secara manual, bahkan pembibitan dilakukan di halaman rumah.

Kerja keras itu perlahan membuahkan hasil. Dinas Kelautan kemudian turut membantu memasarkan bibit ke berbagai daerah, seperti Pekalongan, Semarang, dan Yogyakarta.

Meski begitu, baru pada 2016 upaya konservasi ini terorganisasi dalam kelompok formal bernama Sida Asih, beranggotakan sembilan orang. Kini, jumlah anggota meningkat menjadi 32 orang, terdiri atas 15 laki-laki dan 17 perempuan.

Kelompok Sida Asih mengelola kawasan yang kini dikenal sebagai Wisata Mangrove Simanja (Konservasi Mangrove Jagapati). Meski area wisata hanya 2 hektare, program konservasi mereka mencakup total 45 hektare hutan mangrove di Kelurahan Kutawaru.

Jenis mangrove yang tumbuh di sini beragam, mulai dari Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Bruguiera, hingga Ceriops. Vegetasi ini menjadi habitat alami bagi berbagai satwa, dari kepiting bakau, ikan-ikan kecil, hingga burung migran.

"Dulu jangankan burung, kepiting pun sulit ditemukan. Sekarang burungnya bukan hanya datang, juga berkembang biak di sini," ujar Naswan sambil tersenyum.

Baca juga: Mencermati ancaman hilangnya Segara Anakan Cilacap

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |