Mengapa sekolah berbasis agama kian diminati?

1 month ago 11
Saatnya sistem pendidikan nasional memberi ruang lebih besar bagi pendekatan pedagogis yang membentuk manusia seutuhnya, yang mencintai sesama manusia, lingkungan hidup dan Tuhan penciptanya, bukan sekadar urusan administratif dan lulusan berijazah

Jakarta (ANTARA) - Fenomena meningkatnya minat masyarakat terhadap sekolah berbasis agama atau sekolah agama menjadi sorotan penting dalam lanskap pendidikan nasional.

Beragam sekolah agama, baik madrasah, sekolah Kristen, maupun Katolik, kini menjadi pilihan utama banyak orang tua, bahkan ketika sekolah negeri tersedia secara gratis.

Meskipun sekolah agama yang diinisiasi oleh swasta ini lebih mahal, mereka tetap dipilih oleh orang tua karena hasilnya dinilai memuaskan dan sesuai harapan.

Mengapa hal ini terjadi? Salah satu alasan mendasar dipilihnya sekolah agama adalah keinginan orang tua agar anak-anak mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tumbuh dengan karakter yang kuat, berakar pada nilai-nilai moral dan religius.

Dalam situasi sosial yang makin kompleks, banyak keluarga merasa pendidikan berbasis atau sekolah agama menawarkan perlindungan moral, pengetahuan agama mendalam, kedisiplinan, dan arah hidup yang jelas bagi anak-anak mereka.

Sekolah berbasis agama, umumnya tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan kedisiplinan, kebiasaan doa atau refleksi harian, pembentukan etika sosial, serta penghayatan nilai-nilai hidup. Hal-hal semacam ini sering kali dirasakan minim perhatian di sekolah negeri yang lebih menekankan aspek akademik dan administratif.

Martin Buber, filsuf religius Yahudi, menyatakan bahwa "pendidikan bukanlah soal mentransfer informasi, melainkan membentuk manusia dalam relasi yang tulus". Dalam konteks ini, banyak sekolah berbasis agama justru menghadirkan relasi pendidik dan peserta didik yang lebih personal, spiritual, dan manusiawi.

Dalam pendekatan pedagogi Ignasian yang diterapkan di banyak sekolah Katolik, misalnya, pendidikan mencakup dimensi otak (kognitif), hati (afektif), dan tangan (aksi). Anak-anak diajak untuk berpikir kritis, merenung secara spiritual, dan bertindak secara etis. Inilah integrasi yang dirindukan banyak orang tua.

Preferensi masyarakat

Preferensi ini bukan sekadar asumsi. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2022 menunjukkan bahwa 63,1 persen responden menyatakan lebih percaya sekolah berbasis agama dalam hal pembentukan karakter.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |