Mataram (ANTARA) - Aksi demonstrasi ribuan massa yang berujung pembakaran dan penjarahan Gedung DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Sabtu (30/8/2025) meninggalkan jejak luka yang dalam.
Gedung utama dewan, ruang sidang paripurna, sekretariat, hingga inventaris kantor habis dilalap api. Kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah. Lebih dari itu, peristiwa ini mencederai wajah demokrasi daerah dan menguji daya tahan sosial masyarakat NTB.
Demonstrasi pada hakikatnya adalah ruang koreksi terhadap kekuasaan, saluran aspirasi rakyat agar kebijakan tidak menyimpang dari kepentingan umum.
Namun, ketika aspirasi berubah menjadi amarah kolektif, lalu menjelma anarkisme, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran dan trauma berkepanjangan. Demokrasi kehilangan martabatnya, rakyat kehilangan harapan, dan pembangunan daerah ikut tersandera.
Mataram pernah mencatat peristiwa kelam pada Januari 2000, ketika kerusuhan massa meluluhlantakkan rumah, ruko, rumah ibadah, hingga memaksa ribuan warga mengungsi. Ekonomi lumpuh bertahun-tahun, citra NTB tercoreng, dan trauma sosial diwariskan lintas generasi. Butuh kerja keras, waktu panjang, dan modal sosial yang besar untuk membangkitkan kembali kepercayaan, baik di tingkat nasional maupun global.
Kini, dua puluh lima tahun kemudian, bara itu kembali menyala dalam bentuk berbeda. Gedung DPRD NTB dijadikan sasaran amarah. Ironisnya, gedung tersebut adalah simbol representasi rakyat, tempat di mana aspirasi mestinya diperjuangkan. Pembakaran gedung dewan adalah paradoks. Aspirasi untuk rakyat justru menghancurkan rumah rakyat sendiri.
Anarkisme tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan, ketidakpuasan terhadap cara negara dan elit mengelola mandat rakyat. Tuntutan massa yang menolak rancangan undang-undang, menuntut penegakan hukum, hingga mendesak pencopotan pejabat tinggi adalah refleksi keresahan sosial-politik yang nyata.
Kesenjangan sosial-ekonomi yang makin lebar ikut menjadi bara yang mudah tersulut. Di tengah pertumbuhan pembangunan, masih ada potret masyarakat yang tertinggal. Ketidakadilan distribusi sumber daya, isu transparansi penggunaan anggaran, hingga praktik politik yang dinilai elitis menambah rasa keterasingan masyarakat terhadap pemimpin mereka.
Namun, menyampaikan aspirasi dengan cara membakar gedung atau menjarah fasilitas publik jelas bukan jalan keluar. Kekerasan hanya memperlebar jarak, memicu distrust, dan menghambat solusi substantif yang justru diharapkan dari sebuah aksi demokrasi.
Belajar dari kegagalan komunikasi
Peristiwa ini juga mengungkap kelemahan komunikasi politik. Tidak adanya ruang dialog antara perwakilan massa dengan anggota dewan pada hari kejadian memperburuk situasi. Massa yang merasa diabaikan memilih mengekspresikan kekecewaan lewat tindakan destruktif. Padahal, dialog adalah kunci demokrasi.
Ketiadaan jembatan komunikasi yang efektif antara pengunjuk rasa dan lembaga politik adalah alarm keras. Demokrasi yang sehat membutuhkan saluran partisipasi yang terbuka, responsif, dan transparan. Kapan pun aspirasi rakyat diabaikan, celah bagi provokasi akan terbuka lebar.
Langkah-langkah pemulihan pascaperistiwa ini tidak cukup berhenti pada penegakan hukum terhadap pelaku. Lebih jauh, ada pekerjaan rumah besar untuk memastikan NTB tetap kondusif dan tidak kembali terjerumus ke dalam lingkaran kekerasan.
Pertama, memperkuat saluran dialogis. Lembaga legislatif dan eksekutif perlu membuka ruang komunikasi reguler dengan mahasiswa, organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok kritis. Kehadiran pemimpin di tengah massa bukan sekadar simbolik, tetapi menjadi sarana membangun kepercayaan.
Kedua, mengembalikan politik pada fungsinya. DPRD sebagai representasi rakyat tidak boleh terjebak dalam permainan kepentingan kelompok. Transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas harus dikedepankan. Tanpa itu, jarak dengan rakyat akan makin melebar.
Ketiga, memperkuat ketahanan sosial. Kesenjangan ekonomi yang memicu kecemburuan sosial perlu diatasi dengan kebijakan afirmatif. Pembangunan tidak boleh hanya dirasakan oleh segelintir pihak, tetapi harus menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Keempat, menjaga profesionalisme aparat. Polisi dan TNI dituntut untuk bersikap adil, tegas, dan humanis. Tindakan represif hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, pendekatan persuasif berbasis dialog akan memperkuat legitimasi aparat di mata masyarakat.
Kelima, membangun kesadaran kolektif. NTB harus dipahami sebagai rumah bersama yang wajib dijaga. Anarkisme bukan wajah asli masyarakat NTB yang dikenal santun dan beradab. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, termasuk melalui pendidikan politik di sekolah dan perguruan tinggi.
Demokrasi yang beradab
Peristiwa di DPRD NTB harus menjadi bahan refleksi kolektif. Demokrasi tanpa etika hanyalah jalan pintas menuju kehancuran. Aksi unjuk rasa adalah hak konstitusional, tetapi harus dijalankan dengan tertib, damai, dan bermartabat.
Sebaliknya, elit politik harus mengingat bahwa amanah yang mereka emban bukanlah hak istimewa, melainkan kewajiban melayani rakyat. Jika demokrasi hanya diperlakukan sebagai arena perebutan kursi, rakyat akan kehilangan kepercayaan, dan aksi-aksi jalanan akan terus menjadi pilihan, bahkan dalam bentuk yang keliru.
Mataram 2000 telah mengajarkan pahitnya konflik. DPRD NTB 2025 kini memberi alarm baru. Kita tidak boleh lagi mengulang kesalahan yang sama. Kondusivitas adalah syarat mutlak bagi pembangunan. Tanpa stabilitas, kesejahteraan hanya akan menjadi janji kosong.
Api yang melahap Gedung DPRD NTB adalah simbol amarah. Tetapi, dari bara itu kita bisa belajar untuk menyalakan cahaya baru yakni cahaya persatuan, cahaya kedewasaan politik, dan cahaya demokrasi yang lebih sehat.
Solusi sejati terletak pada keberanian semua pihak untuk berubah, rakyat menyampaikan aspirasi dengan santun, aparat mengawal dengan humanis, dan elit politik kembali pada mandat rakyat.
Dengan cara itu, NTB bukan hanya selamat dari bara anarkisme, tetapi juga mampu menyalakan harapan baru bagi demokrasi yang beradab dan pembangunan yang berkelanjutan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.