Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan viralnya sebuah video yang menggambarkan sekelompok orang merusuhi sebuah lahan kosong di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Mereka yang berjumlah lebih dari lima orang tersebut menodongkan senapan angin serta senjata api ke arah lahan yang menjadi objek utama kericuhan. Lempar-melempar batu juga tak terelakkan dalam peristiwa tersebut.
Usai kejadian tersebut viral di media sosial, personel Polres Metro Jakarta Selatan dengan cepat membekuk 10 orang yang terlibat.
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa aksi premanisme itu dipicu oleh adanya masalah perebutan lahan. Sebanyak 10 orang yang diamankan itu ternyata anggota jasa pengamanan yang dibayar oleh seseorang yang menyatakan diri punya sertifikat atas kepemilikan atas lahan tersebut.
Aksi premanisme juga terjadi dengan modus berkedok organisasi masyarakat (ormas), salah satunya yang terjadi di Barito Selatan, Kalimantan Tengah (Kalteng). Ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kalteng menyegel gedung milik PT Bumi Asri Pasaman (BAP) secara sepihak.
Peristiwa penyegelan tersebut diketahui karena DPD GRIB Jaya Kalteng menerima kuasa dari Sukarto, seorang warga Barito Timur, yang terlibat dalam perselisihan bisnis jual beli karet dengan PT BAP.
Atas terjadinya kasus tersebut, Polda Kalteng pun turun tangan dengan menerjunkan personel untuk menyelidiki dan memanggil Ketua DPD GRIB Kalteng.
Meski dua kasus menonjol tersebut telah berakhir di tangan kepolisian, namun berita mengenai aksi premanisme masih saja terus saja bermunculan, baik itu yang dilakukan oleh individu maupun atas nama ormas.
Masih banyak pula aksi premanisme yang tidak terdeteksi oleh radar yang mungkin terjadi dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Sesepele soal memberi uang kepada juru parkir (jukir) liar, bisa berubah menjadi tindakan premanisme jika adanya ketidakpuasan dari salah satu pihak.
Jika tidak segera diatasi, masalah ini bisa memunculkan ketidakstabilan keamanan dan sosial. Bahkan, iklim ekonomi nasional juga bisa terganggu karena sedikitnya investor yang ingin menanamkan sahamnya.
Apabila tidak ada investor yang menanamkan saham, maka akan menimbulkan efek domino pada negara karena akan mempengaruhi jumlah lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Jalan keluar pun menjadi kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi saat ini.
Pemerintah pun langsung tancap gas untuk menyelesaikan masalah premanisme ini dengan membentuk Satuan Tugas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Meresahkan yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Politik dan Hukum.
Baca juga: Apindo mengapresiasi pemerintah bentuk Satgas Penanganan Premanisme
Selain satgas, penindakan di lapangan oleh aparat penegak hukum juga dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejak 1 Mei 2025, Polri telah menggelar operasi pekat kewilayahan berdasarkan Surat Telegram Kapolri dengan nomor STR/1081/IV/OPS.1.3./2025.
Sasaran kejahatan premanisme yang menjadi fokus adalah pemerasan, perampasan, pungutan liar, pengancaman/intimidasi, pengeroyokan, dan penganiayaan oleh individu maupun kelompok. Hingga tanggal 9 Mei 2025, kepolisian telah menindak 3.326 kasus premanisme.
Solusi jangka panjang
Pemerintah sudah turun tangan. Begitu pula dengan aparat penegak hukum dengan satuan-satuannya. Tapi, apakah itu saja sudah cukup?
Satu hal yang perlu diingat, permasalahan premanisme bukan masalah musiman.
Berdasarkan data Pusiknas Polri, kasus premanisme berupa pengeroyokan meningkat selama 2022–2024. Pada 2022, kasus pengeroyokan berjumlah 8.830 kasus. Lalu, meningkat signifikan menjadi 16.502 kasus pada 2023 dan 17.107 kasus pada 2024.
Selain pengeroyokan, Polri juga mencatat bahwa kasus premanisme berupa perampasan pada 2022-2024 menyentuh angka ribuan. Pada tahun 2022, tercatat terdapat 3.269 kasus. Namun, jumlahnya meningkat signifikan menjadi 4.784 kasus pada tahun 2023 dan sedikit turun pada 2024 menjadi 4.654.
Sejatinya, Polri pernah melakukan operasi khusus untuk menumpas aksi premanisme pada 2021. Pada saat itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan agar polda dan polres menindak tegas oknum-oknum yang melakukan aksi premanisme dan tidak memberikan ruang bagi premanisme sedikitpun.
Instruksi ini merupakan respons cepat Polri guna menanggapi maraknya premanisme yang pada saat itu makin meresahkan, utamanya preman yang kerap melakukan pemalakan terhadap sopir kontainer di wilayah Jakarta Utara.
Namun, jika berkaca dari data Pusiknas Polri, jumlah kasus premanisme tidak turunpada tahun-tahun berikutnya. Artinya, penegakan hukum saja tidak cukup untuk menangani masalah ini.
Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia Muhammad Mustofa pernah mengatakan bahwa kejahatan premanisme tidak mungkin akan hilang, tetapi berfluktuasi.
Jika ada penindakan oleh aparat penegak hukum, maka jumlahnya berkurang. Akan tetapi, jika penindakan kembali longgar karena adanya prioritas lain, maka premanisme akan kembali muncul.
Maka, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang berdampak jangka panjang serta mengatasi akar masalah yang ada agar kejahatan ini bisa berhenti.
Baca juga: 22 preman ditangkap di Jakarta Barat
Guru Besar Kriminologi UI Adrianus Eliasta Meliala menilai bahwa munculnya kejahatan premanisme ini merupakan kombinasi dari beberapa hal, yaitu keterbatasan ekonomi, pendidikan rendah, mental menerabas atau cari gampang, struktur mobilitas politik yang macet, serta penegakan hukum yang lemah.
Pendidikan rendah, kata dia, menjadikan orang tidak mampu berkompetisi sehingga hanya dengan berkumpul saja, mereka memiliki nilai tawar lebih. Selain itu, ekonomi terbatas juga menjadikan kegiatan preman sebagai hal yang menarik karena dengan upaya terbatas, bisa memperoleh banyak uang.
Pendidikan pun menjadi hal krusial utama yang harus diperbaiki. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto pun telah mencanangkan program Sekolah Rakyat, yaitu pendidikan berasrama yang ditujukan khusus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Saat ini, sudah terdapat 65 titik wilayah yang siap menyelenggarakan Sekolah Rakyat. Jika dijalankan dengan maksimal, program ini diharapkan bisa memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang mencari penghidupan melalui kejahatan premanisme.
Masalah lain yang harus dibenahi adalah aksi premanisme dengan memanfaatkan tunggangan ormas. Sebagaimana kata Adrianus, fenomena ini terjadi karena macetnya mobilitas sosial politik.
“Jika dikatakan ormas adalah sumber kader parpol, maka sedikit sekali kader ormas yang bisa menjadi calon legislatif ataupun calon eksekutif,” ujarnya.
Tidak adanya kesempatan bagi anggota ormas untuk melanjutkan karier menyebabkan munculnya oknum yang menunggangi ormas guna melancarkan aksi premanismenya, misalnya dengan melakukan pemerasan.
Maka, dalam hal ini, pemerintah perlu menegaskan lagi tugas dan fungsi ormas dalam undang-undang. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian telah membuka peluang untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Organisasi Kemasyarakatan agar pengawasan terhadap ormas semakin ketat dan akuntabel.
Menurut mantan Kapolri itu, salah satu hal yang perlu pengawasan ketat adalah transparansi keuangan. Tito menilai ketidakjelasan alur dan penggunaan dana ormas bisa menjadi celah untuk penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput.
Gagasan revisi tersebut turut diamini oleh Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno. Adapun Eddy menilai bahwa revisi UU Ormas tersebut dapat mempercepat proses likuidasi pembubaran ormas yang dinilai mengganggu ketertiban umum di tengah masyarakat.
Kini, gagasan revisi UU Ormas berada di tangan pemerintah untuk diputuskan akan dijalankan atau tidak. Meski begitu, upaya ikhtiar tersebut menjadi secercah harapan bagi masyarakat yang menantikan kestabilan keamanan dan sosial di negeri khatulistiwa ini.
Baca juga: Cegah premanisme, belasan atribut ormas diturunkan di Jaktim
Copyright © ANTARA 2025