Membangun kemandirian pangan di tengah guncangan geopolitik

1 day ago 9

Jakarta (ANTARA) - Bangsa Indonesia sedang menghadapi situasi "peperangan" menggunakan senjata tarif dan currency. Di tengah guncangan dan ketidakpastian situasi geopolitik tersebut, bangsa kita berhasil memulai langkah dengan dasar yang kuat dan arah yang tepat, yaitu membangun kemandirian di sektor pangan.

Capaian enam bulan pemerintahan di sektor pertanian ini cukup mengesankan. Dalam waktu yang terbilang singkat itu, kita berhasil mencapai swasembada beras. Kita “kebanjiran” beras dari petani kita sendiri.

Bangsa Indonesia berpeluang membangun kemandirian industri pangan justru ketika berlangsung perang tarif dan mata uang. Ketika setiap negara menerapkan kebijakan border protection melalui penerapan tarif yang tinggi, keadaan itu memaksa setiap negara di dunia untuk mau tidak mau atau suka tidak suka harus bisa hidup dan tumbuh dari diri sendiri, mandiri dan tidak bergantung.

Kita semua melihat sendiri bagaimana gempuran impor produk industri asing telah meruntuhkan industri nasional. Industri manufaktur Indonesia yang menyerap lapangan pekerjaan tinggi ambruk, industri tekstil runtuh, industri pertanian babak belur.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran meluas sebagai akibat dari terjadinya deindustrialisasi nasional. Kita memang tidak diuntungkan oleh sistem perdagangan bebas tanpa hambatan tarif. Tidak banyak produk industri nasional yang diekspor, selain produk ekstraktif yang uangnya diparkir di luar negeri. Negara yang diuntungkan oleh perdagangan bebas tanpa hambatan tarif adalah yang mempunyai industri produk ekspor.

Karena itu sangat tepat Mahatma Gandhi, tokoh kemerdekaan India yang terkenal dengan gerakan perlawanan tanpa kekerasan, mengajarkan prinsip swadesi, maksudnya “makan dan pakai apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Dalam bahasa sederhana, konsep swadesi, menurut Gandhi, mengarah pada swarajya (kemerdekaan). Dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule), yang bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance).

Begitu juga Bung Karno yang menjadi guru ideologis Presiden Prabowo, mewariskan kepada kita tentang Trisakti, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian nasional. Sekali lagi, kita mesti memanfaatkan momentum untuk menegakkan Trisakti dalam situasi ketika berlangsung perang dagang.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, produksi gabah kering giling (GKG) pada periode Januari-April 2025 mencapai 24,22 juta ton, dengan produksi beras mencapai 13,95 juta ton. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Sementara konsumsi beras domestik tercatat sekitar 10,37 juta ton. Dengan data BPS ini, dipastikan untuk saat ini kita tidak perlu lagi impor beras.

Tidak gampang, tapi itu fakta. Dan kita semakin optimistis, dalam enam bulan ke depan kita akan menjadi salah satu eksportir beras. Bisa dipastikan, kartel pemakan rente impor beras dan komoditas pangan lain tidak akan diuntungkan dengan capaian ini.

Pada pertengahan April 2025, Perum Bulog telah berhasil menyerap 1,4 juta ton gabah dari target 2 juta ton pada bulan April 2025. Angka serapan ini jauh meningkat jika dibandingkan dengan 2022 yang hanya tercatat sebanyak 994 ribu ton, serta berturut-turut 1,066 juta ton dan 1,266 juta ton pada 2023 dan 2024.

Pemerintah, melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), membuat kebijakan menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram. Dengan demikian, petani kita bisa mempunyai penghasilan jumbo dalam panen raya kali ini.

Selama ini petani harus selalu siap menghadapi “kutukan” di saat datang musim tanam dan di saat panen raya. Saat musim tanam tiba, petani sulit memperoleh pupuk dan benih unggul. Sementara ketika panen raya datang, petani dihadapkan pada jatuhnya harga gabah. Petani kita merintih dan merana justru di saat berlangsung panen raya.

Kementerian Pertanian mencatat problem distribusi pupuk subsidi terhambat oleh birokrasi yang sengaja dibuat ruwet, harus melalui lebih dari 145 aturan yang meliputi 41 undang-undang, 23 peraturan pemerintah, 6 peraturan presiden, serta harus melibatkan 11 kementerian dan lembaga.

Presiden Prabowo Subianto melakukan reformasi dengan menyederhanakan sistem distribusi pupuk, yang kini hanya melibatkan tiga pihak, yaitu Kementerian Pertanian, Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), dan petani. Kebijakan ini sangat positif, distribusi pupuk menjadi lebih cepat dan tepat sasaran, petani kembali aktif menanam, konsumsi pupuk meningkat.

Presiden Prabowo hadir dengan nafas dan semangat Pembukaan UUD 1945, "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Semangat ini yang menyertai kebijakan pemerintah untuk melindungi industri pertanian kita dengan sejumlah kebijakan yang selama ini menghambat.

Memang belum banyak yang sempurna dalam mengimplementasikan sejumlah kebijakan strategis pemerintah, masih banyak kekurangan di sana sini, termasuk dalam program nasional swasembada pangan. Namun niat baik itu telah dibuktikan melalui implementasi nyata melindungi petani dan industri pertanian.

Ke depan, kita berharap pengusaha nasional mulai masuk ke sektor pertanian. Kampus atau perguruan tinggi juga mulai dilibatkan dalam riset dan inovasi terkait, baik bibit maupun teknologi pertanian, agar hasil pertanian makin melimpah. Dengan demikian cita-cita menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia dapat diwujudkan.

Mari menanam!

*) Haris Rusly Moti adalah eksponen gerakan mahasiswa 1998, UGM Yogyakarta

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |