Membaca peluang Kampus Berdampak untuk masyarakat

14 hours ago 4
Besar atau tidaknya eksistensi kampus tergantung dari seberapa besar kontribusi kampus di tengah masyarakat

Jakarta (ANTARA) - Narasi Kampus Merdeka yang nyaring terdengar di tahun-tahun sebelumnya, kini akan berganti slogan menjadi Kampus Berdampak. Pada 29 April lalu, beberapa hari menjelang hari pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi memperkenalkan sebutan itu ke ruang publik.

Sudah menjadi kebiasaan pemerintah selama ini, ketika ada pergantian menteri dan perubahan nomenklatur kementerian, selalu diikuti dengan perubahan kebijakan yang baru pula.

Perguruan tinggi di seluruh Indonesia kembali harus beradaptasi dengan kebijakan baru tersebut. Pihak Kemendiktisaintek menyebut bahwa Kampus Berdampak adalah keberlanjutan dari Kampus Merdeka. Kurikulum dan program tetap sama, hanya pelaksanaan dikembalikan ke kampus masing-masing.

Dalam penjelasannya, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Khairul Munadi menyebutkan bahwa kampus berdampak merupakan arah baru pendidikan tinggi untuk bisa berdaya dan berdampak, dan agar pendidikan menyatu dengan masyarakat, dunia usaha dan industri, serta pembangunan nasional.

Perguruan tinggi harus melahirkan mahasiswa yang mampu menyelesaikan masalah masyarakat, menghadirkan intervensi dan pemberdayaan, serta menciptakan inovasi dan teknologi untuk keberlanjutan hidup yang lebih maju.

Pendidikan tinggi tak hanya melahirkan kaum terdidik yang memiliki gelar, ilmu, dan kompetensi untuk sesuatu yang sifatnya pragmatis dan materialistis. Namun kampus harus membekali mahasiswa dengan rasa kemanusiaan, kebangsaan, keadilan sosial, dan budi pekerti yang luhur, sebagaimana yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara, salah satu perintis pendidikan Indonesia.

Tiga tahun terakhir, penulis merasakan turun ke masyarakat sebagai sesuatu yang penting bagi proses pembelajaran di kampus. Hal ini terlihat pada mata kuliah yang penulis ampu, seperti kesehatan mental komunitas, dan asesmen dan intervensi komunitas.

Dua mata kuliah ini mewajibkan mahasiswa membuat komunitas, menentukan lokasi, turun ke lapangan, wawancara dan observasi tentang masalah kesehatan mental yang ada di masyarakat, dan yang terakhir merancang dan mengimplementasikan intervensi psikologi ke masyarakat.

Masalah yang diangkat mahasiswa beragam, mulai dari pernikahan dini, prostitusi, anak yang berhadapan dengan hukum, anak terlantar dan dhuafa, suku anak dalam, pendidikan di sekolah terpencil, kekerasan seksual, bullying, adiksi narkoba dan game online, disfungsi keluarga, dan permasalahan sosial lainnya.

Bagi mahasiswa yang notabene adalah gen z, kegiatan belajar turun langsung ke lapangan sebagai pengalaman baru yang menarik dan menantang. Mereka antusias setiap kali turun ke lapangan, semangat kuliah mereka menyala karena berhadapan langsung dengan kehidupan riil, tidak hanya mendengar ceramah di ruang kelas.

Mereka butuh ruang eksplorasi, butuh kehadiran dosen untuk bertukar pikiran mengenai visi, misi, dan program yang akan mereka jalankan. Dosen juga harus menyediakan waktu menemani mahasiswa mengasah nalar, mendidik mahasiswa tidak hanya pintar, namun peduli dan membumi.

Baca juga: Mendiktisaintek ajak industri di RI berdayakan riset perguruan tinggi

Kurikulum yang berdampak

Pendidikan tinggi di Indonesia sejak tahun 2020 sudah mengembangkan kurikulum outcomes based education (OBE). Model kurikulum ini mengacu pada profil lulusan dan capaian pembelajaran, kemudian diturunkan menjadi rencana pembelajaran semester, bahan ajar, serta penilaian dan evaluasi.

Berdasarkan kurikulum tersebut, mahasiswa dituntut memiliki pengetahuan, keterampilan umum dan khusus, dan sikap. Apa yang didapatkan mahasiswa selama kuliah, sangat bergantung dengan apa yang ingin dicapai sesuai profil lulusan di program studi yang mereka ikuti.

Misalnya program studi (prodi) psikologi Universitas Jambi, salah satu capaiannya menjadi fasilitator komunitas, maka pembelajaran yang dirancang adalah pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi tersebut. Mata kuliah kesehatan mental komunitas serta asesmen dan intervensi komunitas lahir dari capaian dan profil lulusan tersebut.

Mahasiswa juga dituntut untuk belajar langsung melalui pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran berbasis tantangan, pendekatan ini juga didesain untuk menyesuaikan dengan kurikulum outcomes based education.

Untuk mencapai pembelajaran ideal dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek, maka kampus menghadirkan pembelajaran yang fokus pada tugas-tugas yang relevan dengan dunia nyata, membangun kolaborasi dan jejaring, menciptakan produk dan karya inovatif, serta berpikir strategis dan reflektif.

Selain itu, pembelajaran berbasis tantangan menuntut mahasiswa memiliki daya juang menghadapi tantangan zaman, menempa diri menjadi agen perubahan, berpikir solutif dan melibatkan diri dalam agenda-agenda sosial kemasyarakatan, serta punya daya tahan menghadapi tekanan dan hambatan.

Baca juga: Selamat datang "Kampus Berdampak"

Integrasi kampus dan masyarakat

Kampus berdampak tak boleh menjadi sekadar slogan dan gaung yang sifatnya sementara, namun harus dibaca sebagai keseriusan pemerintah untuk membentuk pendidikan yang integratif dengan kehidupan masyarakat.

Kampus bukanlah suatu yang terpisah dengan Masyarakat. Besar atau tidaknya eksistensi kampus tergantung dari seberapa besar kontribusi kampus di tengah masyarakat. Integrasi ini merupakan bentuk keterhubungan antara teori dan praktik, serta antara penciptaan pengetahuan dan penerapannya dalam konteks sosial.

Keterhubungan antara kampus dan masyarakat harus mewujud dalam bentuk pendidikan yang menghargai kebebasan berpikir, keterbukaan dalam menyampaikan aspirasi, kultur demokrasi, dan kemampuan menjadi mediator antar pihak.

Kampus juga perlu menerapkan pembelajaran yang holistik, yakni pembelajaran yang menekankan berbagai aspek, bukan hanya aspek intelektual, tapi juga sosial, emosional, fisik, kreativitas dan inovasi, dan spiritual. Tujuannya untuk mendidik manusia yang utuh dan seimbang, bukan hanya pintar secara akademis.

Maria Montessori, seorang pemikir dan dokter asal Italia, menyebut bahwa pembelajaran holistik memandang potensi belajar datang secara alami sejak anak-anak yang diberi kebebasan untuk memilih minat dan bakat sesuai fase hidup mereka.

Selain itu, pembelajaran holistik mendorong belajar secara mandiri yang menyesuaikan lingkungan, pengalaman secara konkret, pembelajaran tentang etika, disiplin diri, tanggung jawab sosial, dan rasa hormat terhadap orang lain dan lingkungan, serta mengajarkan peserta didik kesadaran dan tanggung jawab.

Akhirnya, peringatan hari pendidikan nasional tahun ini, menjadi momen untuk kita merefleksikan sejauh mana kontribusi pendidikan terhadap kemaslahatan masyarakat, sejauh mana pembelajaran, penelitian, dan pengabdian di kampus memberi ruang bagi dosen dan mahasiswa terlibat langsung menjadi suluh peradaban dan perubahan.

Baca juga: Jalan Idealisme Ki Hajar Dewantara

*) Agung Iranda adalah Dosen Universitas Jambi dan Koordinator Rumah Progresif

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |