Melihat posisi regulasi penyiaran Indonesia di kawasan ASEAN

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Menjelang akhir tahun 2024, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat menyelenggarakan End Year of Digital Broadcasting Webinar yang diikuti oleh enam negara di kawasan ASEAN.

Selain KPI, hadir regulator penyiaran dari negara lain sebagai pembicara, yaitu Malaysia Communications and Multimedia Commission (MCMC), National Telecomunication Commission (NTC-Filipina), The National Broadcasting and Telecommunications Commission (NBTC-Thailand), Kementerian Informasi Myanmar, dan Kementerian Informasi Kamboja.

Salah satu topik yang dibahas adalah perkembangan terkini mengenai regulasi penyiaran di masing-masing negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Forum ini sangat penting dalam melihat posisi regulasi penyiaran Indonesia di kancah global, khususnya kawasan Asia Tenggara.

Masing-masing negara

Kita mulai dari Malaysia. Regulasi yang dimiliki oleh negeri jiran ini sebetulnya sudah lebih lama hadir, dikenal dengan The Communications and Multimedia Act 1998 (Act 588), namun secara materi, undang-undang ini sudah lebih maju dari UU 32 Tahun 2002 yang dimiliki Indonesia.

Melalui Communications and Multimedia Act 1998, lahirlah Malaysia Communications and Multimedia Commission (MCMC). Dibandingkan dengan KPI yang hanya mengawasi televisi dan radio teresterial, MCMC dimandatkan mengawasi sektor telecommunications, broadcasting, aktivitas online, jasa postal, dan sertifikasi digital. Situasi ini diperkuat dengan regulasi lain yang memperkuat tupoksi MCMC, misalnya Postal Services Act 2012 dan Strategic Trade Act 2010.

Bagaimana dengan Thailand? Negeri Gajah Putih ini memiliki National Broadcasting and Telecommunications Commission (NBTC) sebagai counterpart-nya KPI. NBTC merupakan lembaga regulasi negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang "Act on Organization to Assign Radio Frequency and to Regulate the Broadcasting and Telecommunication Services" yang disahkan pada tahun 2010.

Sama seperti MCMC, wewenang NBTC yang dimandatkan dari UU tersebut jauh lebih besar dari KPI, yaitu kewenangan untuk mengatur semua layanan penyiaran dan telekomunikasi di Thailand, termasuk menetapkan frekuensi radio, memberi lisensi kepada operator, lelang spektrum 3G dan 4G, transisi ke televisi digital, dan mengatur konten yang disiarkan di televisi.

Berlanjut ke Filipina. The National Telecommunication Commission (NTC) dibentuk berdasarkan Executive Order 546. Meskipun regulasinya setingkat Keppres, namun mandat yang diberikan kepada NTC sangat strategis, yaitu menjadi satu-satunya lembaga negara untuk meregulasi semua industri telekomunikasi dan penyiaran di Filipina.

NTC memiliki salah satu layanan yang disebut dengan Divisi Broadcast Services. Divisi ini diberi mandat untuk mengembangkan, formulasi, dan mengimplementasikan kebijakan, pedoman untuk izin operasional semua radio, televisi, stasiun Community Antenna Television (CATV) dalam servis penyiaran, satelit dan layanan space communications lainnya. Menariknya NTC diberikan wewenang menerbitkan Memo Circular pada pelaksanaan migrasi analog ke digital.

Myanmar memiliki regulasi penyiaran yang menarik untuk disimak. Meski rezim militer mengambil alih kekuasaan lewat kudeta pada 2021, namun regulasi penyiaran yang sebelumnya terbilang cukup progresif.

Myanmar memiliki regulasi yang terbilang anyar di kawasan Asia Tenggara, yaitu Broadcasting Law (Rule and Regulations) yang disahkan pada tanggal 20 Oktober 2020. Regulasi ini kemudian membentuk dua regulator, yaitu The National Broadcasting Council (NBC) dan The National Telecommunication and Broadcasting Team (NTBT).

Tim tersebut bertugas melakukan alokasi spektrum dan standarisasi spesifikasi teknis peralatan, mengawasi penerbitan alokasi spektrum tahunan negara kepada publik, kebijakan pengembangan penyiaran, kriteria teknis produksi, impor, distribusi, dan penjualan teknologi penyiaran dan hal terkaitnya.

Sementara Kamboja menjadi negara yang paling lemah dalam tata kelola sektor penyiaran. Mereka tidak memiliki regulasi setara UU, sehingga tidak ada badan khusus yang dimandatkan mengawasi industri penyiaran mereka. Perlindungan regulasi terhadap kepemilikan lintas media (di pasar cetak, siaran dan daring) juga tidak ada. Regulasi terkait Klausul Persaingan (UU Pers, Pasal 17) hanya berlaku untuk industri media cetak, maka industri radio dan televisi tidak diatur dalam undang-undang kartel tersebut.

Bagi Indonesia, UU No. 32 Tahun 2002 merupakan regulasi yang (masih) digunakan dalam mengatur sektor penyiaran televisi dan radio yang menggunakan frekuensi free to air. Semangat melakukan revisi UU Penyiaran selama 15 tahun yang menjadi inisiatif Komisi I DPR RI masih terus diperjuangkan hingga periode DPR RI 2024-2029.

Sempat terjadi dinamika yang menyebabkan revisi UU Penyiaran ditunda di Baleg DPR RI. Terlepas dari penundaan tersebut, komitmen anggota Komisi I DPR RI (yang lebih dari 50 persen merupakan muka baru) untuk melanjutkan revisi UU Penyiaran sebagai prioritas utama patut diapresiasi.

Setidaknya terdapat tiga usulan prioritas berasal dari KPI sendiri, yaitu penguatan kelembagaan internal KPI/KPID, pengawasan platform digital dan pengusulan audit rating.

Isu strategis

Pada webinar yang berlangsung juga terungkap perkembangan akal imitasi (AI) atau kecerdasan buatan dalam praktik sektor penyiaran di masing-masing negara. Meski masih tergolong tahap awal, namun masing-masing negara memiliki narasi yang sama tentang pentingnya regulasi integrasi AI dalam sektor penyiaran.

Ketiadaan regulasi AI ini dapat berdampak besar, mulai dari konten, teknis produksi hingga perkembangan industri penyiaran di kawasan Asia Tenggara. Selain AI, isu pengawasan terhadap konten pada platform media sosial dan OTT juga menjadi permasalahan bersama yang dihadapi masing-masing negara ASEAN yang belum terpecahkan menggunakan regulasi ada saat ini.

Pada konteks Indonesia, semangat untuk memberikan perluasan wewenang KPI pada konten media sosial dan OTT juga menimbulkan pro dan kontra dalam draf revisi UU Penyiaran yang tertunda.

Apakah Indonesia berani mengambil peran sebagai negara pertama di ASEAN yang berani mengatur platform raksasa tersebut? Hanya waktu yang akan menjawab pada proses revisi UU Penyiaran yang akan mulai dibahas kembali.

*) Amin Shabana adalah Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Bidang Kelembagaan

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |