LPS: Skema penjaminan polis dirancang untuk cegah “moral hazard”

1 month ago 19
Ada beberapa variabel yang bisa kita masukkan ke dalam regulasi atau praktik untuk mengurangi potensi 'moral hazard'

Jakarta (ANTARA) - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengungkapkan bahwa skema Program Penjaminan Polis (PPP) dirancang secara hati-hati untuk mencegah moral hazard, baik dari sisi perusahaan asuransi maupun pemegang polis.

“Ada beberapa variabel yang bisa kita masukkan ke dalam regulasi atau praktik untuk mengurangi potensi moral hazard yang mungkin dilakukan perusahaan asuransi dengan adanya program ini,” kata Direktur Eksekutif Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS Ridwan Nasution dalam acara Indonesia Re International Conference (IIC) 2025 di Jakarta, dikutip Rabu.

Salah satu skema yang dinilai dapat mencegah moral hazard yakni penerapan batas maksimum penjaminan (limit) atas klaim pemegang polis.

“Jika seluruh manfaat dijamin penuh oleh LPS, maka perusahaan asuransi bisa terdorong mengambil risiko bisnis yang lebih tinggi. Penerapan limit menjadi langkah penting untuk mencegah hal itu,” kata Ridwan.

Adapun besaran batas maksimum nilai pertanggungan yang dibayarkan kepada pemegang polis masih dalam pembahasan bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemangku kepentingan lainnya.

Besaran batas penjaminan polis ini akan ditentukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan moral hazard, baik bagi perusahaan asuransi maupun pemegang polis.

Sebagai gambaran, batas maksimum ini mirip seperti penjaminan simpanan perbankan yang saat ini nilainya maksimal Rp2 miliar per nasabah per bank.

Selain batas maksimum penjaminan, Ridwan menjelaskan bahwa hal lain yang dapat mencegah moral hazard yaitu komponen investasi dalam produk asuransi yang tidak akan dijamin. Dalam hal ini, LPS hanya menjamin komponen yang bersifat proteksi.

Maka untuk produk unitlink, jelas Ridwan, komponen proteksi tetap bisa dijamin oleh LPS namun tidak untuk komponen investasinya.

Ia mengingatkan komponen investasi mengandung risiko pasar yang seharusnya sudah diketahui oleh pemegang polis dan dikelola oleh perusahaan asuransi.

“Saya tidak bisa membayangkan jika kita menjamin komponen investasinya. Menurut saya, itu akan sangat berbahaya bagi perusahaan asuransi, dalam hal moral hazard,” kata dia.

Ridwan mengatakan bahwa LPS akan berkoordinasi erat dengan OJK sebagai pengawas industri asuransi. Jika bisnis atau produk asuransi terindikasi fraud, besar kemungkinan LPS tidak akan memberikan penjaminan polis.

“Hal yang sama juga berlaku di bank untuk produk simpanan. Jika terindikasi fraud atau misalnya terkait dengan pencucian uang atau semacamnya, maka LPS tidak akan menjaminnya. Hal yang sama berlaku untuk perusahaan asuransi (dalam program penjaminan polis),” kata Ridwan.

Dalam mendukung dan memperkuat sektor keuangan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Undang-undang ini memberikan mandat baru kepada LPS untuk menjalankan program penjaminan polis, yang dimulai pada 2028 atau dalam jangka waktu lima tahun setelah disahkannya UU P2SK.

Program ini bertujuan untuk melindungi pemegang polis, dengan mewajibkan setiap perusahaan asuransi yang berpartisipasi dalam program penjaminan untuk memenuhi standar kesehatan tertentu.

Baca juga: LPS: Penjaminan polis hanya cakup asuransi komersial berunsur proteksi

Baca juga: OJK: Program penjaminan polis akan mencakup mekanisme resolusi

Baca juga: LPS sampaikan kesiapan laksanakan program penjaminan polis

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |