Jakarta (ANTARA) - Bencana banjir dan longsor di Sumatra kembali menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi kegagalan struktural dalam mengelola sumber daya alam.
Peristiwa tersebut sering disederhanakan sebagai musibah alam atau dampak hujan ekstrem, padahal secara ilmiah bencana tersebut merupakan akumulasi dari deforestasi, tata kelola yang lemah, dan pengabaian prinsip environmental & social governance (ESG) dalam investasi dan pembangunan.
Banjir di Sumatra bukanlah fenomena tunggal, tetapi puncak dari rantai sebab akibat yang dimulai dari kebijakan ekonomi-politik, diikuti eksploitasi sumber daya alam, tanpa perlindungan, dan diakhiri dengan kerentanan sosial masyarakat.
Infrastruktur ekologis
Dalam perspektif lingkungan, hutan tropis adalah infrastruktur ekologis yang berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan air hujan dan pengikat tanah untuk pencegahan longsor. Hutan tropis juga menjadi infrastruktur pengatur debit aliran sungai dan berperan sebagai penopang keanekaragaman hayati serta sistem sosial setempat.
Hanya saja, fungsi ekologis tersebut terpinggirkan ketika kebijakan pembangunan lebih mengutamakan optimalisasi komoditas ekonomi dibanding daya dukung lingkungan. Pemberian konsesi lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek besar dilakukan tanpa penilaian risiko lingkungan–sosial yang memadai dan tanpa mekanisme pengawasan independen.
Akibatnya, kapasitas alam dalam mengendalikan risiko banjir menurun signifikan.
Ekonomi politik
Pendapatan dari sektor ekstraktif memang berkontribusi pada ekonomi nasional dan daerah. Namun dalam kenyataan di lapangan, arus keuntungan lebih dominan mengalir ke elite ekonomi dan politik, bukan ke masyarakat di wilayah terdampak.
Pola ekonomi politik yang berulang dapat diringkas sebagai berikut: korporasi memperoleh izin konsesi untuk membuka hutan; keuntungan ekonomi terkonsentrasi di aktor-aktor kuat melalui aliansi bisnis–politik; kebijakan publik cenderung pro-eksploitasi: regulasi longgar, pengawasan minim, dan pemberian izin berulang; risiko ekologis dialihkan ke masyarakat, sementara manfaat ekonomi terpusat pada kelompok kecil.
Dalam perspektif tata kelola, fenomena ini menunjukkan defisit good governance, terutama pada aspek transparansi, akuntabilitas, independensi pengawasan, serta partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































