Kiat tekan kebiasaan bagikan informasi secara berlebihan di medsos

1 day ago 4

Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis Ratih Ibrahim mengemukakan bahwa keinginan untuk membagikan informasi di platform media sosial (medsos) seringkali berkaitan dengan kebutuhan mendapatkan perhatian dan validasi sosial.

Saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu, psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia itu menyampaikan bahwa tanpa pemahaman dan kontrol diri yang baik, kebiasaan membagikan informasi dan konten di media sosial bisa mengganggu dan merugikan orang lain.

Dia mencontohkan, menyebarkan informasi dan konten mengenai kejadian kecelakaan bisa menyakiti keluarga korban, menggiring opini publik ke arah yang keliru, serta menimbulkan trauma sekunder pada penonton.

Baca juga: "Oversharing" di media sosial berisiko merugikan orang lain

Ratih mengemukakan pentingnya mengasah empati untuk menekan kebiasaan membagikan informasi secara berlebihan di platform media sosial.​​​​​​​

Berikut langkah-langkah yang dia sarankan untuk menekan kebiasaan membagikan konten di platform media sosial.

1. Jeda sebelum mengunggah

Sebelum mengunggah konten dan informasi di media sosial ada baiknya mengambil jeda sejenak untuk berpikir, "Apakah konten ini butuh dibagikan?" dan "Apa dampak jangka panjang dari konten yang akan diunggah?"

2. Refleksi diri

Perlu pula menanyakan kepada diri sendiri apa yang akan kita rasakan jika ada orang lain yang mempublikasikan wajah kita saat mengalami kecelakaan sebelum mengunggah konten di media sosial.​​​​​​​

3. Mengingatkan diri sendiri tentang pentingnya menjaga privasi

Mereka yang suka membagikan konten dan informasi di media sosial ada baiknya mengingatkan diri sendiri tentang pentingnya perlindungan privasi pada masa kritis.​​​​​​​

4. Mempertimbangkan dampak tindakan

Orang yang suka membagikan berbagai informasi di media sosial dianjurkan pula untuk mempertimbangkan dampak dari tindakannya terhadap orang-orang yang terkait dengan informasi yang dibagikan di dunia nyata.

Baca juga: Texas akan larang anak di bawah 18 tahun gunakan media sosial

Ratih mengatakan bahwa empati tidak hanya diperlukan saat menyaksikan kejadian kecelakaan.

"Ketika melihat konten di sosial media, kita tetap dapat mengasah empati dengan menahan dorongan untuk menyebarkannya kembali," katanya.

Ia menjelaskan bahwa berempati berarti menyadari bahwa penderitaan bukanlah hal yang layak dijadikan konsumsi publik, melainkan sesuatu yang perlu ditangani secara hati-hati.

Baca juga: Polri bongkar kasus konten asusila di grup media sosial

Baca juga: Pemerintah belajar dari Australia soal pembatasan media sosial

Pewarta: Sinta Ambarwati
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |