Jakarta (ANTARA) - Kemiskinan di Indonesia terus menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan nasional telah mencapai titik terendah sebesar 8,57 persen, atau sekitar 24,06 juta orang.
Capaian ini layak diapresiasi sebagai hasil dari berbagai upaya pemerintah dan masyarakat dalam mengurangi kemiskinan.
Namun, di balik pencapaian ini, masih terdapat tantangan besar yang harus diselesaikan, terutama masalah kemiskinan di Pulau Jawa.
Besarnya konsentrasi penduduk miskin di Pulau Jawa tersebut penting untuk diperhatikan. Pasalnya, Pulau Jawa yang selalu dianggap lebih maju dibanding wilayah lainnya dan memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional, nyatanya di balik itu justru masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa pada September 2024 masih lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum pandemi COVID-19.
Pada September 2019, jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa adalah sebanyak 12,56 juta jiwa. Pada September 2024, jumlah ini belum berkurang, bahkan bertambah 0,06 juta menjadi 12,62 juta jiwa. Padahal, di wilayah-wilayah lainnya, jumlah penduduk miskin pada September 2024 sudah mengalami penurunan dibandingkan September 2019.
Hal ini menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di Pulau Jawa lebih lambat. Oleh karena itu, program pengentasan kemiskinan di Jawa menjadi perlu untuk dievaluasi dan ditingkatkan lagi.
Selama ini, program pengentasan kemiskinan di Pulau Jawa banyak bergantung pada bantuan sosial (bansos), seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program-program ini memang memiliki dampak positif, seperti membantu keluarga miskin memenuhi kebutuhan dasar dan mencegah mereka jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan.
Namun, pendekatan bansos yang selama ini diterapkan cenderung bersifat one size fits all atau "pukul rata", sehingga kurang memperhitungkan kebutuhan dan kondisi spesifik setiap daerah atau individu penerima.
Pulau Jawa, dengan kepadatan penduduknya yang tinggi dan keragaman kondisi sosial-ekonominya, membutuhkan pendekatan yang lebih tersegmentasi. Contohnya, tantangan kemiskinan di perkotaan, seperti Jakarta atau Surabaya, tentu berbeda dengan di daerah perdesaan di Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Di perkotaan, penduduk miskin sering kali menghadapi masalah biaya hidup yang tinggi, seperti kebutuhan perumahan dan akses layanan kesehatan, sementara di perdesaan, persoalannya lebih banyak terkait dengan keterbatasan infrastruktur, akses pasar, dan rendahnya produktivitas pertanian.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengubah pendekatan bansos menjadi lebih adaptif dan kontekstual.
Kebijakan bansos juga perlu disesuaikan dengan biaya hidup antardaerah karena perbedaan daya beli dan disparitas kebutuhan hidup antarwilayah, dan masalah kerentanan karena welfare shock juga perlu diakomodasi.
Misalnya, di perkotaan, bantuan bisa difokuskan pada subsidi perumahan atau program pelatihan kerja yang mendorong keterampilan berbasis teknologi digital. Sementara itu, di perdesaan, program bisa diarahkan pada pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), penyediaan sarana irigasi, atau pelatihan pertanian modern.
Dengan menyesuaikan program dengan kebutuhan lokal, efektivitas bantuan dapat meningkat, dan potensi penerima untuk keluar dari lingkaran kemiskinan mungkin akan lebih besar.
Tidak hanya masalah kemiskinan yang menjadi tantangan. Jika dilihat lebih dalam, berdasarkan data Susenas Maret 2024, gini ratio di Pulau Jawa juga merupakan yang paling tinggi dibanding wilayah lainnya, yaitu sebesar 0,408. Besarnya gini ratio tersebut menunjukkan tingginya tingkat ketimpangan di Pulau Jawa, yang dapat berarti juga bahwa banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses yang setara terhadap peluang ekonomi yang ada.
Pulau Jawa selalu memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional. Pada triwulan III 2024 misalnya, kontribusi Pulau Jawa mencapai 56,84 persen terhadap PDB nasional.
Sayangnya, tingginya PDB yang ada dapat dibilang belum inklusif/dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan distribusi pengeluaran, kelompok penduduk 40 persen terbawah di Pulau Jawa hanya menikmati sekitar 16,71 persen saja dari kue ekonomi yang ada. Sementara itu, sisanya sebesar 33,93 persen dinikmati oleh mereka yang berada di kelompok 40 persen menengah dan sebesar 49,36 persen dinikmati oleh kelompok 20 persen teratas.
Dari sini terlihat ketimpangan yang cukup besar, di mana kelompok 20 persen teratas dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit justru menikmati lebih dari 3 kali lipat kue ekonomi dibandingkan kelompok 40 persen terbawah yang jumlah penduduknya lebih besar.
Adanya ketimpangan yang cukup tinggi tersebut tentu perlu diperhatikan. Penguatan ekonomi lokal menjadi sangat penting.
Kebijakan menggerakkan sektor ekonomi lokal sebagai sumber utama penghidupan masyarakat di Pulau Jawa perlu dilakukan. Misalnya, wilayah perdesaan yang banyak bergantung pada sektor pertanian perlu mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk subsidi pupuk, pendampingan teknologi pertanian, dan akses pasar yang lebih baik. Sementara itu, di perkotaan, sektor informal, seperti pedagang kecil, pekerja lepas, dan usaha mikro, harus diberi insentif serta kemudahan perizinan agar mampu berkembang.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi diharapkan tidak hanya dinikmati oleh sebagian kecil kelompok tertentu saja.
Lebih lanjut, selain bansos, peningkatan pemerataan akses pendidikan dan keterampilan kerja juga perlu dilakukan. Kelompok 40 persen terbawah di Pulau Jawa seringkali terjebak dalam situasi yang sulit untuk memperbaiki kondisi mereka, karena keterbatasan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan lapangan pekerjaan yang layak.
Sementara itu, kelompok 20 persen teratas memiliki akses yang jauh lebih baik terhadap sumber daya tersebut, yang pada akhirnya memperbesar jurang ketimpangan.
Tanpa intervensi yang signifikan, permasalahan kemiskinan dan ketimpangan ini dikhawatirkan dapat memicu berbagai masalah sosial, termasuk menurunnya kohesi sosial dan meningkatnya potensi konflik horizontal.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada distribusi yang lebih merata, sehingga manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bersinergi untuk memastikan bahwa pembangunan di Pulau Jawa tidak hanya menghasilkan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga membawa perubahan nyata bagi kehidupan masyarakat kelompok terbawah. Dengan komitmen yang kuat dan kebijakan yang tepat, kemiskinan maupun ketimpangan di Jawa bukanlah tantangan yang tak terpecahkan.
*) Nuri Taufiq dan Lili Retnosari adalah Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
Copyright © ANTARA 2025