HPN di era digital, "Media Instan" dan pentingnya literasi digital

3 hours ago 2
Ketersisihan media massa yang berdampak secara bisnis itu agaknya tidak berdampak secara konten

Surabaya (ANTARA) - Adalah tokoh pers H Dahlan Iskan yang menyebut kebenaran pada masa lalu itu ditentukan fakta, tapi kebenaran masa sekarang ditentukan framing. Kebenaran baru yang tak berbasis fakta itu diungkapkan saat pidato dalam sebuah wisuda di Al-Zaytun, Jawa Barat, 20 Mei 2023.

Kebenaran baru itu dinilai mantan Menteri BUMN tersebut sebagai persoalan besar di era digital, karena kebenaran baru itu bukan kebenaran tapi kepalsuan yang dipersepsi sebagai kebenaran karena kepalsuan itu diulang-ulang hingga bisa dianggap benar.

Ya, era digital memang menjadi persoalan ke depan, karena teknologi digital masih menjadi kemajuan teknologi, bukan kemajuan manusia-nya. Manusia tetap merekayasa teknologi digital menjadi framing, hoaks, hack, scams, dan kepalsuan lainnya.

Sejatinya, kebenaran lama yang berbasis fakta itu patut dikampanyekan terus, terutama pada Hari Pers Nasional (HPN) 2025. Jurnalisme berbasis fakta itu masih punya keunggulan yakni akurasi, etik, dan dokumentasi.

Kebenaran yang akurat tak bisa digantikan oleh media digital, karena framing itu sangat jauh dari benar alias palsu/bohong. Selain akurasi, etik/etika pun tak terkalahkan dengan media digital yang justru mengganti etika dengan viewer dan viral. Padahal manusia tanpa etika itu ibarat bukan manusia saja atau manusia kriminal.

Soal dokumentasi pun, kebenaran lama lebih unggul, karena kebenaran baru bisa editing dan take down, sehingga data pun hilang, sedangkan kebenaran lama yang disimpan di museum pun tidak lekang oleh waktu. Bahkan fakta historis bisa menjadi bukti dari kebenaran di masa lalu.

Namun, teknologi digital yang menjadi wadah dari kebenaran baru itu tidak selayaknya ditinggalkan atau dilarang, karena kebenaran baru ala framing itu mengandung dua peluang juga yakni peluang mengampanyekan literasi digital dan peluang memanfaatkan tantangannya untuk memantik inovasi konvergensi di dunia media.

Kampanye literasi digital itu sangat penting, karena dunia digital memang memiliki banyak jebakan. Contoh rekayasa digital paling menipu adalah judi daring. Mereka yang tidak tahu judi daring akan ketagihan terus-menerus hingga kecanduan. Padahal judi daring sudah merekayasa agar penjudi kalah; hanya menang satu hingga dua kali di awal, setelah itu bisa dipastikan akan kalah terus.

Itu hanya salah satu contoh dari belasan jebakan dunia digital. Untuk jebakan digital yang lebih rinci ada dalam buku "Kesalehan Digital" (2023), yang mengupas 12 jebakan digital, termasuk dalam dunia politik atau agama, seperti jebakan radikal digital.

Umumnya jebakan digital itu bersifat "permainan" logika yang tidak selalu benar, karena ada unsur rekayasa atau framing. Dalam framing, sesuatu yang salah pun jika diulang-ulang akan dianggap benar. Ya, logika yang menipu/palsu.


Media Instan, Literasi Digital

Bagi kalangan pers, munculnya platform digital awalnya menimbulkan kegelisahan, karena masyarakat mulai melirik media digital sebagai sarana informasi, sehingga terjadi pergeseran dari media ke gadget, tiba-tiba pemirsa TV hilang.

Namun, ketersisihan media massa yang berdampak secara bisnis itu agaknya tidak berdampak secara konten (akurasi, etika, dokumen). Pergeseran masyarakat memang akan mengalahkan media massa secara fisik (oplah merosot atau bahkan sekarat), namun secara non-fisik (konten) belum tentu kalah, bahkan menang.

Kuncinya, keunggulan media berbasis fakta harus dikelola secara digital dengan melebur ke dalam dunia media digital/sosial, secara teknis dan konten. Itulah yang disebut konvergensi media, yang jika diberi sentuhan kreasi/inovasi akan bisa "menang".

Secara teknis, media pun harus menjadi platform di perangkat seluler, lalu secara konten harus masuk ke jalur sebaran medsos lewat YouTube. Juga harus memperhatikan informasi yang viral tapi produksi tetap melalui kaidah jurnalistik sebagai keunggulan yang tetap menjadi andalan.

Faktanya, dalam 3-4 tahun terakhir, masyarakat yang terpapar medsos pun mulai mencari informasi yang benar, sehingga media daring yang menomersatukan akurasi pun mulai berkembang, meski ada masalah dalam bisnis.

Secara bisnis, pengunduh media daring umumnya cuma mau gratis dan menghindari iklan. Selain itu, ada kompetisi dengan 1.500 media daring terverifikasi dan ada 15.500-an yang tak terverifikasi. Masalah lain, kue bisnis sekarang ada pada pemerintahan atau APBN/APBD serta algoritma Google, sehingga ada tantangan independensi.

Namun, masalah atau tantangan pers di era digital itu justru dapat menjadi pekerjaan rumah untuk berbenah dan maju secara kualitas serta bertekad mencegah plagiasi dan hoaks.

Ya, masalah dan tantangan yang ada itu justru dapat menjadi peluang untuk menguatkan literasi pada masyarakat masyarakat, pemerintah dan "penguasa" platform digital, seperti Google yang kini mulai berbenah dalam kualitas serta mencegah informasi palsu.

Literasi digital menjadi tantangan terbesar era digital, karena masyarakat penghuni dunia digital yang ada saat ini masih mayoritas dari generasi non-digital, tapi tantangan ini bisa menjadi peluang untuk mengampanyekan akurasi atau kebenaran fakta melalui literasi dalam rubrik "Cek Fakta", kajian "Kesalehan Digital", dan sebagainya.

Selain literasi, gempuran algoritma dari Google sebagai platform digital yang "mengatur" narasi global perlu diajak kerja sama untuk "bisnis bersama" (publisher right), sekaligus mendorong pemerintah membuat regulasi untuk mengatur "media instan" yang bersifat penertiban, bukan menunggu pelaporan saja.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |