Ilmu Komunikasi dan strategi pembelajaran di era algoritma

13 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Pendidikan di era digital menghadapi tantangan besar, bagaimana membekali mahasiswa dengan kemampuan memaknai informasi secara kritis di tengah dominasi algoritma dan media sosial.

Data We Are Social dan Meltwater pada Februari 2025 mencatat bahwa 212 juta warga Indonesia atau 74,6 persen dari populasi telah terhubung ke internet. Mayoritas menggunakannya untuk mencari informasi sosial (82,7 persen), menjalin relasi (72,8 persen), dan mencari inspirasi (71,9 persen).

Sementara itu, 97,8 persen pengguna internet usia 16 tahun ke atas aktif mengelola media sosial, terutama untuk bersosialisasi (60,5 persen), mengisi waktu luang (57,5 persen), dan mencari ide atau inspirasi keseharian (51 persen).

Data ini menunjukkan bahwa media digital lebih banyak dimanfaatkan untuk hiburan dan kebutuhan sosial. Media digital belum banyak digunakan untuk pembelajaran yang mendalam.

Dari perspektif Ilmu Komunikasi, praktik bermedia di masyarakat mencerminkan pergeseran cara membentuk makna dan identitas.

Komunikasi dalam konteks pendidikan pun tidak lagi bersifat satu arah dari dosen ke mahasiswa. Ia menjadi terbuka, cair, dan berkelindan dengan algoritma, budaya populer, serta sistem simbolik yang terus berubah. Maka, sumber belajar tidak lagi tunggal.

Media sosial, seperti TikTok, YouTube, dan Instagram, telah menjadi ruang belajar alternatif yang lebih menarik bagi masyarakat, termasuk mahasiswa, meskipun di kanal-kanal itu tidak selalu memuat nilai edukatif yang sehat.

Konten yang viral belum tentu membangun kesadaran, yang populer tidak selalu mendidik. Demikian pula, informasi yang mudah dicerna juga belum tentu melatih daya pikir kritis. Di sinilah kita menghadapi jurang antara apa yang diajarkan di kelas dengan apa yang diyakini mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari.

Mahasiswa hari ini bukan hanya berperan sebagai konsumen informasi, melainkan juga produsen makna. Mereka membuat konten, menyebarkan pesan, dan memaknai informasi berdasarkan latar sosial, budaya, serta tingkat literasi digital masing-masing.

Ilmu Komunikasi menekankan bahwa konstruksi makna tidak pernah netral. Ia terikat pada kekuasaan, simbol dominan, narasi besar, dan juga emosi. Dalam banyak kasus, seseorang bisa saja menolak informasi yang valid hanya karena disampaikan oleh figur yang ia tidak sukai. Makna dibentuk bukan hanya oleh isi pesan, tapi juga oleh persepsi, afiliasi, dan perasaan.

Pendidikan harus mampu menanggapi kompleksitas ini. Mahasiswa perlu dibekali kesadaran kritis dan kemampuan membaca media secara mendalam. Sayangnya, banyak pendekatan belajar masih berpijak pada model pedagogi konvensional yang menganggap mahasiswa sebagai penerima pasif. Metode pembelajaran konvensional ini cenderung fokus pada pembelajaran menghafal dan latihan teks. Padahal, mereka adalah generasi yang terbiasa belajar mandiri, memilih sumber belajarnya sendiri, dan lebih tertarik pada relevansi praktis dari pada hafalan teoritis.

Di sinilah pendekatan andragogi dan heutagogi menjadi semakin relevan. Andragogi memandang pembelajar dewasa sebagai individu yang belajar karena kebutuhan, bukan karena kewajiban. Sementara heutagogi lebih jauh lagi, menempatkan mahasiswa sebagai penentu utama proses belajarnya, --apa yang ingin dipelajari, bagaimana caranya, dan untuk tujuan apa.

Pendekatan ini sangat sesuai dengan era digital saat ini, di mana platform, seperti YouTube, Coursera, dan podcast edukatif, memberi ruang belajar yang fleksibel dan personal, di luar batas kurikulum formal.

Media digital memungkinkan siapa pun belajar kapan pun, di mana pun. Belajar kini menjadi hak semua orang, lintas usia, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Namun justru karena terbuka luas, risiko bias, manipulasi, dan polarisasi pun semakin tinggi.

Di titik ini, peran Ilmu Komunikasi menjadi penting untuk memastikan bahwa dalam kebebasan belajar, mahasiswa tetap punya kemampuan untuk menyaring, mempertanyakan, dan memaknai informasi secara kritis.

Perlu diingat pula bahwa algoritma tidak benar-benar berada dalam posisi netral. Ia bekerja mengikuti kepentingan tertentu, baik ekonomi, politik, maupun ideologi pasar.

Ketika mahasiswa tidak dibekali kesadaran algoritmik, mereka akan mudah terjebak dalam ilusi bahwa apa yang muncul di layar adalah cerminan preferensinya sendiri. Padahal, pada kenyataannya apa yang mereka lihat tersebut telah disesuaikan oleh sistem. Di sinilah pendidikan harus menjadi jangkar kesadaran, etika, dan keberpihakan sosial.

Mengajar di era algoritma tidak cukup hanya menyampaikan materi. Dosen dan pendidik perlu membentuk kesadaran makna. Dalam hal ini, mahasiswa perlu dilatih tidak hanya untuk menggunakan teknologi, tetapi juga untuk membaca simbol, mengkritisi narasi viral, dan memilah informasi secara etis.

Seperti dikatakan Yuval Noah Harari, penulis buku "21 Lessons for the 21st Century", di era algoritma, kemampuan memilah informasi dan berpikir kritis jauh lebih penting dari pada sekadar hafalan.

Pendidikan masa depan harus melampaui digitalisasi semata. Ia harus intensional, reflektif, dan bermakna secara sosial.

Praktik komunikasi dalam pendidikan harus tetap manusiawi, emosional, dan etis. Sebab, tujuan pendidikan sejati bukan mencetak algoritma baru, tetapi membentuk manusia utuh, yang sadar, kritis, dan empatik dalam membaca dunia yang terus berubah.

*) Dr. Reza Praditya Yudha adalah Kaprodi Ilmu Komunikasi Kampus PPU Universitas Gunadarma, pakar Ilmu Komunikasi, Media, dan Masyarakat

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |