Surabaya (ANTARA) - Setiap 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional (HSN) setelah tanggal peringatan itu ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo di Masjid Istiqlal Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2015, berdasarkan usulan KH Thoriq bin Ziyad (Pengasuh Pondok Pesantren Babussalam, Malang).
Saat Presiden ketujuh itu berkunjung ke Pondok Pesantren Babussalam di Desa Banjarejo, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada tahun 2014, KH Thoriq mengusulkan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional.
Kemudian, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusulkan tanggal 22 Oktober, karena tanggal itu memiliki nilai sejarah yang kuat terkait fatwa "Resolusi Jihad" yang dikeluarkan KH Hasyim Asy'ari kepada umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan pasukan Sekutu.
Fatwa Resolusi Jihad itu, kemudian menjadi motor penggerak Arek-arek Suroboyo bertempur melawan Sekutu yang dikenal sebagai pertempuran 10 November. Tanggal 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan oleh pemerintah.
Tidak hanya apresiasi negara atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan melalui Resousi Jihad dari fatwa para ulama, Hari Santri Nasional juga merupakan pengakuan masyarakat atas peran pesantren dalam pendidikan karakter dan kemandirian.
Pengakuan negara dan masyarakat atas peran pesantren dalam perjuangan kemerdekaan serta mencetak generasi berkarakter mulia dan mandiri itu telah berlangsung ratusan tahun, sejak republik ini belum berdiri.
Seorang santri dari keluarga pesantren di Jember, Jawa Timur, menulis novel yang menggambarkan peran guru atau pengasuh pondok pesantren dalam mendidik santri, meski tanpa biaya sepeser pun.
Dalam novel itu dikupas satu persatu dialog kiai atau bu nyai (sebutan untuk istri kiai) dengan wali santri dari keluarga miskin. Meminjam istilah anak muda, masa kini, ada "curhat" wali santri kepada "sang guru", yaitu kiai atau nyai yang kedekatannya sudah seperti orang tua sendiri.
Begitulah peran strategis dari pesantren dalam perjuangan kebangsaan, termasuk dalam urusan kemasyarakatan, khususnya pendidikan, sehingga posisi kiai/nyai sangat utama, mulai dari ruang kelas/pondok, hingga ruang-ruang sosial kemasyarakatan dan kenegaraan yang tercatat secara historis.
Artinya, posisi guru di pesantren sangat sentral, karena sanad (rujukan dari guru ke guru) pun tersambung. Bahkan, tingkatan sambungan penghormatan untuk guru pun sangat tinggi, sehingga penghormatan dengan cara membungkuk, jongkok, atau mencium tangan guru adalah penghormatan yang dianggap pantas di pesantren, meski ada pihak yang menganggap feodal.
Seorang wali santri berargumen bahwa berjalan jongkok itu dilakukan oleh anaknya di pondok sebagai bentuk takzim pada ilmu dan kesalehan kiai dan nyai. Para santri melakukan hal itu dengan rasa ikhlas, semata-mata berharap berkah dari Allah melalui washilah atau perantara ilmu dan kesalehan kiai pengasuh pondok pesantren.
Dunia tanpa guru
Di balik penghormatan tinggi kepada guru itulah yang justru menjamin keilmuan atau intelektual dan karakter di pesantren dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena semua ilmu dan perilaku yang diajarkan itu memiliki guru dan bahkan guru dengan rujukan bertingkat. Sambungan sanad keilmuan itu, di beberapa pesantren masih ada catatan, hingga ke Rasulullah Muhammad Saw.
Walhasil, pesantren telah mengajarkan pentingnya guru dalam konteks pertanggungjawaban keilmiahan karena rujukannya jelas.
Sambungan sanad ilmu itu berbeda dengan "dunia maya" yang cenderung asal bicara atau asal tulis, tanpa ada sambungan keilmuan dengan guru sebelumnya. Ketersambungan sumber ilmu itu, di lingkungan pesantren dijaga, bukan hanya dengan penyebutan dalam ranah akademik, melainkan dalam sikap tawaddlu' atau hormat.
Dari sini, kritik yang dilontarkan kepada pesantren dari dunia maya sebagai "feodal" itu memberi tahu bahwa tidak banyak yang tahu mengenai spirit di lingkungan pondok pesantren mengenai konsistensi memelihara adab atau kesopanan.
Kritik terhadap pondok pesantren, di era digital yang terkesan sebagai cibiran itu ditunjukkan warganet, saat menilai pesantren dalam dua tragedi, yakni ambruknya mushalla di Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jatim, dan tuduhan budaya feodalisme dalam tayangan di satu stasiun televisi swasta, dengan suasana di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Oleh karena itu, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa kemarahan santri kepada tayangan televisi itu bukan karena serangan pada pesantren atau NU, tapi karena program di telivisi itu melakukan serangan kepada kelompok identitas, sehingga potensial memicu perpecahan bangsa. Ada kepentingan lebih besar mengenai kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara yang damai, tidak diperhitungkan secara matang dalam tayangan tersebut.
Dalam kegiatan pra-acara Hari Santri Nasional 2025 di kampus perguruan tinggi NU di Surabaya, 19 Oktober 2025, Gus Yahya menilai Hari Santri yang ke-10 ini mendapat kado pahit dari tayangan sebuah stasiun televisi nasional, tapi ada hikmah tentang pentingnya terkait semangat persatuan dan mengawal kemerdekaan.
Gus Yahya menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara majemuk memiliki banyak kelompok identitas dari suku, agama, ras/etnis, hingga golongan. Karena itu, serangan kepada kelompok identitas itu tidak boleh terjadi di Indonesia, termasuk ke NU atau pesantren. Kepentingan menjaga agar tidak terjadi serangan itu adalah untuk memagari bangsa ini dari upaya kelompok tertentu untuk dipecah belah.
Ibarat pernikahan, pasangan yang menikah itu pasti tujuannya bersatu. Meskipun demikian, dalam ikhtiar bersatu itu tidak lepas dari potensi perbedaan.
Hari Santri 2025 harus menjadi pelajaran tentang pentingnya menghargai kelompok identitas untuk menjaga kemajemukan bangsa. Semua pihak juga harus belajar dari pesantren dalam memelihara kedamaian lewat pelestarian adab terhadap guru dan terhadap sesama.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































