Semarang (ANTARA) - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Arief Hidayat mengingatkan bahwa hukum di Indonesia disinari dengan ketuhanan yang menunjukkan pertanggungjawaban bagi setiap hakim kepada Tuhan dalam memutuskan suatu perkara.
"Irah-irahnya sudah jelas. Pengadilan, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan Peradilan sampai di bawahnya (dalam membuat keputusan) ada irah-irahan. 'Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'," katanya, di Semarang, Sabtu.
Hal tersebut disampaikannya dalam Sarasehan Kebangsaan dalam rangka Bulan Bung Karno bertema "Merekonstruksi Pemahaman Pancasila Dalam Perspektif Pidato 1 Juni 1945" yang digelar DPD PDI Perjuangan Jateng.
Bahkan, lembaga legislatif dan eksekutif dalam pembuatan regulasi atau perundangan-undangan selalu ada irah-irahnya, yakni "Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa".
"Rektor saja kalau membuat aturan ada (irah-irah) atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa. Itu tanggung jawabnya dunia akhirat," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu.
Namun, diakuinya bahwa penegakan hukum di Indonesia saat ini masih karut marut sehingga menjadi refleksi bersama, sebab aspek ketuhanan merupakan sila pertama dalam Pancasila.
Lebih lanjut, kata dia, aspek ketuhanan yang ada dalam ideologi Pancasila itu juga membedakan konstitusi Indonesia dengan negara lain, sebab mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Anggota DPR hormati putusan MK soal pemisahan pemilu
Baca juga: Kemendagri pelajari putusan MK soal jeda pemilu nasional-daerah
Di negara Eropa, kata dia, ideologinya bernafaskan individualis kapitalis sehingga konstitusinya hanya mengatur persoalan-persoalan politik dan lembaga negara serta hak asasi manusia, sedangkan negara komunis konstitusinya mengatur hal yang bersifat ke pengaturan politik dan ekonomi saja.
Di Indonesia, ia menegaskan bahwa konstitusinya mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara karena Indonesia berideologi Pancasila.
"Yang diujikan di MK itu ada seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya persoalan politik, tidak hanya persoalan sosial, tapi juga persoalan budaya sampai persoalan perkawinan, halal haram, makanan dan sebagainya," katanya.
Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudi Latif menyampaikan bahwa keragaman nilai ideologi yang sifatnya universal ditemukan dalam Pancasila.
"Pancasila menjadi titik temu seluruh ajaran nilai, agama, kearifan, humanisme. Lima sila Pancasila kalau diperas jadi tiga nilai, yakni sosionasionalisme, sosiodemokrasi, dan sosioreligius," katanya.
Ternyata, kata dia, Bung Karno saat itu sudah mampu memeras lagi sila-sila Pancasila, sebagai unsur yang paling "genuine" dari bangsa Indonesia, yakni gotong royong.
Sementara itu, Rektor Undip Prof Suharnomo mengatakan bahwa saat ini Indonesia masih menghadapi problem kurangnya keteladanan dalam kepemimpinan.
"Kepemimpinan itu soal tindakan, bukan soal posisi. Jadi, enggak usah nunggu (jadi pimpinan, red.). Tapi, di dalam otoritas terkecil bisa melakukan apa. Kita ini yang jadi problem (adalah) kurangnya contoh untuk bertindak," katanya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.