Jakarta (ANTARA) - Sekitar 71 juta penduduk Indonesia termasuk dalam kategori generasi sandwich, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020.
Artinya, lebih dari seperempat populasi Indonesia hidup dalam kondisi menanggung beban finansial dua arah. Mereka harus membiayai orang tua yang belum mandiri secara ekonomi, sekaligus menanggung kebutuhan anak-anak yang masih menjadi tanggungan.
Di balik angka itu, tersembunyi kisah-kisah perjuangan senyap yang sering luput dari perhatian publik maupun kebijakan negara.
Di permukaan, mereka terlihat mapan. Memiliki pekerjaan, penghasilan tetap, bahkan mungkin rumah sendiri. Namun kenyataannya, banyak dari mereka yang hidup dari gaji ke gaji, tanpa tabungan memadai, atau bahkan tanpa jaminan perlindungan sosial yang kuat. Mereka adalah wajah dari apa yang kini disebut sebagai kemiskinan baru, bukan karena tak memiliki penghasilan, tetapi karena tak memiliki ketahanan saat guncangan datang.
Kemiskinan baru atau dikenal dengan new poor bukanlah kemiskinan absolut yang tercermin dalam ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, tetapi lebih pada kondisi rentan yang tidak terlihat dalam statistik makro.
Mereka yang tergolong dalam kelompok ini memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, namun tidak memiliki cadangan yang cukup secara ekonomi. Ketika terjadi guncangan sosial atau ekonomi seperti sakit, kehilangan pekerjaan, atau kebutuhan pendidikan anak yang mendesak, mereka akan dengan mudah terperosok ke dalam kemiskinan.
Dalam konteks inilah generasi sandwich menjadi simbol dari ketegangan sosial yang tumbuh dalam masyarakat modern. Mereka hidup di antara dua generasi yang sama-sama membutuhkan dukungan, namun tak cukup memiliki kekuatan struktural untuk menopang keduanya secara berkelanjutan.
Ini bukan sekadar cerita tentang beban keluarga, melainkan gejala dari sistem yang belum mampu menciptakan jaring pengaman lintas generasi. Kehidupan mereka mencerminkan jurang antara narasi keberhasilan ekonomi dan realitas kerentanan sosial yang tak tertangkap dalam indikator makro.
Generasi sandwich sangat rentan masuk dalam kategori ini. Mereka berada di ambang garis kemiskinan, tergolong dalam penduduk rentan miskin yang hidup tanpa jaring pengaman memadai. Pendapatan mereka terdistribusi ke berbagai arah, sehingga hampir tidak ada ruang untuk investasi masa depan ataupun tabungan darurat.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada tahun 2022, sebanyak 67 persen responden usia produktif merasa menjadi bagian dari generasi sandwich. Ini menunjukkan bahwa fenomena ini sudah sangat luas dan bukan sekadar anekdot sosial. Bahkan, diperkirakan pada 2045, sekitar 77,8 persen kebutuhan lansia di Indonesia akan bergantung pada anggota keluarga yang masih bekerja. Jika tidak ada intervensi struktural, maka tekanan terhadap generasi sandwich hanya akan semakin besar ke depan.
Angka-angka ini memberikan peringatan dini tentang ketidaksiapan negara menghadapi perubahan struktur keluarga dan populasi. Dalam masyarakat yang semakin menua, ketergantungan antargenerasi tidak bisa lagi disandarkan sepenuhnya pada relasi kekeluargaan.
Negara harus mulai membangun sistem yang secara sadar dan sistematis menjamin keberlangsungan hidup lansia tanpa membebani generasi produktif secara berlebihan. Tanpa kebijakan transisi yang kuat, kita akan menyaksikan siklus kelelahan sosial yang berulang dan kian dalam.
Beban ekonomi hanya salah satu sisi dari permasalahan. Generasi sandwich juga menghadapi tekanan emosional dan psikologis yang berat. Mereka dituntut untuk produktif dengan tanggung jawab berlapis. Mereka merawat orang tua yang menua dengan segala kebutuhannya, sekaligus mendampingi anak-anak yang memerlukan perhatian, pendidikan, dan kasih sayang.
Sering kali, generasi ini terpaksa menunda bahkan mengorbankan tujuan pribadinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menimbulkan kelelahan emosional, stres, bahkan gangguan kesehatan mental yang serius. Sayangnya, isu ini masih jarang dibicarakan dalam diskursus publik maupun dalam perumusan kebijakan negara.
Celakanya, pengorbanan ini seringkali dianggap sebagai bentuk ideal dari kesalehan anak, tanpa menyadari bahwa pengorbanan tanpa batas—tanpa dukungan sistem—berisiko merusak individu dan menghancurkan produktivitas kolektif. Kelelahan yang terakumulasi selama bertahun-tahun akan melahirkan generasi yang cemas, rentan, dan kehilangan optimisme terhadap masa depan. Dalam jangka panjang, ini adalah ancaman laten terhadap ketahanan sosial bangsa.
Salah satu akar masalahnya adalah belum inklusifnya sistem perlindungan sosial di Indonesia. Banyak program perlindungan sosial masih berfokus pada kelompok penduduk miskin, sementara kelompok rentan miskin belum tersentuh secara optimal. Padahal, memperkuat kelompok ini adalah strategi jangka panjang dalam mencegah angka kemiskinan melonjak di masa yang akan datang.
Akses terhadap layanan kesehatan, asuransi pendidikan, program pensiun, serta dukungan layanan pengasuhan lansia masih sangat terbatas. Kalaupun ada, biayanya kerap tidak terjangkau oleh kelas menengah bawah, kelompok yang paling banyak mengisi lapisan generasi sandwich. Akibatnya, beban tetap berada di pundak individu, dan negara seperti absen dalam memberikan perlindungan nyata.
Kebijakan perlindungan sosial perlu bergeser dari pendekatan karitatif menuju pendekatan preventif. Negara tidak cukup hanya hadir setelah masyarakat jatuh miskin. Yang lebih penting adalah bagaimana negara melindungi warganya agar tidak jatuh miskin ketika menghadapi guncangan. Dalam hal ini, jaminan sosial universal dan terjangkau menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar wacana.
Menghadapi persoalan generasi sandwich bukan hanya tugas satu sektor, melainkan pekerjaan kolektif yang membutuhkan kolaborasi lintas lembaga, lintas kebijakan, dan lintas generasi. Untuk benar-benar mengurai beban yang selama ini dipikul secara senyap oleh jutaan warga produktif Indonesia, negara perlu hadir dengan strategi yang konkret dan menyentuh akar permasalahan.
Langkah ini tidak bisa ditunda. Negara perlu memperluas cakupan jaminan sosial, mendukung pendidikan anak melalui subsidi atau asuransi pendidikan, serta memperkuat layanan pengasuhan lansia dan kesehatan mental. Yang lebih penting, negara harus mengakui bahwa ketangguhan keluarga bukanlah alasan untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam menyediakan perlindungan dasar bagi setiap warga.
Generasi sandwich bukan meminta untuk diistimewakan. Mereka hanya ingin agar kerja keras mereka tidak disambut dengan kelelahan yang tak kunjung reda. Mereka ingin agar tanggung jawab yang mereka pikul mendapat dukungan nyata dari negara. Di sinilah seharusnya kebijakan sosial hadir: bukan sebagai belas kasih, tetapi sebagai bentuk keberpihakan terhadap masa depan.
*) Nuri Taufiq, Lili Retnosari adalah Statistisi di BPS
Copyright © ANTARA 2025