Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap seluruh insentif perpajakan untuk menekan potential loss atau berkurangnya penerimaan pajak.
“Itu saya kira harus dievaluasi sehingga kalau insentif pajaknya lebih tepat sasaran, maka potential loss dari pajaknya bisa ditekan. Itu yang paling gampang sekarang dilakukan,” kata Bhima saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), insentif perpajakan tahun 2023 mencapai Rp362,5 triliun atau 1,73 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Nilai tersebut meningkat 6,3 persen dibandingkan tahun anggaran (TA) 2022 yang sebesar Rp341,1 triliun atau 1,74 persen dari PDB.
“Itu (insentif perpajakan) sebagian belum tepat sasaran. Ini kita minta untuk dievaluasi ulang. Tax holiday, kemudian tax allowance. Apalagi sekarang sudah ada global minimum tax, jadi tidak bisa kasih 0 persen PPh badan, tidak bisa lagi sekarang,” kata Bhima.
Selain evaluasi insentif perpajakan, Bhima mengatakan bahwa Celios juga selalu mendukung pemerintah segera mendorong implementasi pajak-pajak baru seperti pajak karbon, pajak kekayaan terhadap 2 persen aset high net worth individual, serta reformasi pajak warisan.
“Kemudian pajak terkait dengan property atau perumahan, itu harus dievaluasi,” kata dia.
Bhima juga menyarankan pemerintah melakukan audit terhadap sistem Coretax, termasuk rekomendasi pembenahan Coretax.
Hal ini dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan pilot project terlebih dahulu sebelum benar-benar diimplementasikan secara masif secara nasional.
“Jadi ada waktu 1-2 tahun untuk masa uji coba (terhadap Coretax) yang matang,” ujar dia.
Menurut dia, pembenahan terhadap Coretax penting untuk dilakukan karena sistem ini tidak hanya menyangkut kelancaran proses dari pengajuan pajak, pembayaran pajak, dan pelaporan pajak melainkan juga kepercayaan investor dan pelaku usaha asing terhadap sistem perpajakan Indonesia.
Penerimaan pajak pada Januari hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp187,8 triliun, berdasarkan data Kemenkeu. Angka itu turun signifikan bila dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp269,02 triliun.
Bhima menilai terdapat dua indikasi besar terhadap penurunan penerimaan pajak yang cukup tajam salah satunya terkait dengan masalah administrasi perpajakan.
Ia mengamini bahwa secara musiman, penerimaan pajak awal tahun biasanya rendah. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa permasalahan administrasi perpajakan yakni Coretax juga tidak dapat dilepaskan sebagai faktor penurunan penerimaan pajak pada awal tahun ini.
“Coretax ini punya peran yang dominan, karena biasanya awal tahun bisa dapat 60 juta faktur pajak sebulan. Tapi karena ada transisi ke Coretax, jadinya 20 juta faktur pajak. Turunnya jauh juga. Jadi ada hal yang harus diselesaikan dengan masalah Coretax ini,” kata Bhima.
Di samping masalah Coretax, masalah administrasi perpajakan yang mempengaruhi penurunan penerimaan pajak juga termasuk penerapan tarif efektif rata-rata (TER).
Kemudian indikator lainnya, Bhima menambahkan bahwa penerimaan pajak yang turun pada awal 2025 tidak terlepas dari situasi ekonomi yang berlangsung di mana harga komoditas utama mengalami penurunan.
Ia juga menyoroti pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi pada Januari-Februari 2025. Dengan banyaknya PHK yang terjadi, imbuh dia, berarti sumbangan dari pajak penghasilan (PPh) 21 juga rendah.
“Kemudian industri manufaktur yang biasanya menyumbang 30 persen terhadap total penerimaan pajak, sekarang tinggal 25 persen. Artinya memang ada kualitas industri manufaktur yang makin melemah,” kata Bhima.
Baca juga: Pajak turun, peneliti sarankan penguatan DJP hingga pajaki orang kaya
Baca juga: Pajak dari ekonomi digital mencapai Rp1,22 triliun per 28 Februari
Baca juga: Pemerintah menyerap penerimaan negara bukan pajak Rp76,4 triliun
Baca juga: Kemenkeu bantah Coretax jadi pemicu melambatnya serapan pajak
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025