Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef Abdul Manap Pulungan memproyeksikan Bank Indonesia (BI) masih akan menahan suku bunga acuan atau BI-Rate pada level 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini.
"Untuk BI-Rate sepertinya akan tetap ditahan. Karena depresiasi rupiah ini memang sudah mulai reda di pertengahan April ini," katanya dalam diskusi publik secara virtual di Jakarta, Kamis.
Namun, lebih penting lagi, imbuh dia, depresiasi rupiah yang mulai reda ini bukan hanya dipahami secara temporer, sehingga harus diperbaiki secara fundamental agar nilai tukar rupiah lebih memiliki taji, salah satunya dengan memperbanyak cadangan devisa.
Menurut catatan Bank Indonesia, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2025 tercatat sebesar 157,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Angka ini meningkat dibandingkan posisi pada akhir Februari 2025 yang sebesar 154,5 miliar dolar AS.
"Meski kemarin, (cadangan devisa) naik menjadi 157 miliar dolar AS, tapi itu bukan karena kenaikan dari sisi ekspor tetapi lebih pada penerbitan global bond," ujar Abdul.
Menurutnya, penting pula bagi Indonesia untuk belajar dari China yang mampu menjaga nilai tukar karena ditopang oleh cadangan devisa yang tinggi.
Sementara itu, ujarnya, Pemerintah Indonesia tampaknya selalu mendesak agar suku bunga acuan BI dapat diturunkan karena likuiditas perekonomian sudah semakin mengering.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan M1 dan M2 yang sangat rendah jika dibandingkan dengan periode-periode sebelum kenaikan suku bunga acuan BI.
"Kalau suku bunga acuannya tetap tinggi, maka transmisi ke perbankan itu tetap akan tinggi juga suku bunga perbankan, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan tetap lambat bahkan 5,3 persen pun pada 2025 akan sulit," kata dia.
Dari sisi global, suku bunga acuan AS atau Fed Funds Rate (FFR) diperkirakan akan bertahan pada level 4,25-4,5 persen pada FOMC berikutnya. Namun pada Juni hingga Oktober tahun ini, kecenderungan pasar memproyeksikan FFR akan meningkat.
Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto mencatat indeks dolar AS berada dalam tekanan bahkan menurun di bawah level 100.
Di sisi lain, AS menghadapi risiko inflasi yang akan meningkat imbas dari perang dagang. Dengan situasi ini, kebijakan moneter AS kemungkinan besar akan mengetat.
Dengan probabilitas demikian, ujar Eko, maka sebetulnya wajar jika implikasi dari perang dagang pada sektor keuangan khususnya di Amerika Serikat adalah lebih menimbulkan ketidakpastian dan hal itu direpresentasikan dari indeks dolar AS yang menurun.
"Jadi agak sulit kalau kita bisa membayangkan bahwa implikasi dari (perang) tarif itu kemudian bisa menggerakkan lagi manufaktur di Amerika Serikat," kata Eko.
Baca juga: BI: BI-Rate 5,75 persen konsisten dengan upaya jaga inflasi 2025-2026
Baca juga: BI kembali tahan suku bunga acuan pada level 5,75 persen
Baca juga: LPEM UI proyeksikan BI tahan suku bunga di 5,75 persen pada Maret 2025
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025