Ekonom nilai keanggotaan RI di BRICS bukan berarti dukung dedolarisasi

3 hours ago 2
Kita masuk BRICS bukan berarti kita mendukung delorasasinya China dan Rusia, karena ini dua hal yang berbeda. Kembali lagi, inisiatif kita masuk BRICS itu lebih karena mengekspansi mitra dagang kita. Bukan dalam rangka utamanya kita mau dukung dedola

Banda Aceh (ANTARA) - Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede memandang bahwa tujuan utama keanggotaan Indonesia di BRICS bukan dalam rangka mendukung dedolarisasi melainkan dalam rangka memperluas mitra dagang dengan negara-negara lain yang tergabung dalam BRICS.

“Kita masuk BRICS bukan berarti kita mendukung delorasasinya China dan Rusia, karena ini dua hal yang berbeda. Kembali lagi, inisiatif kita masuk BRICS itu lebih karena mengekspansi mitra dagang kita. Bukan dalam rangka utamanya kita mau dukung dedolarisasi,” kata Josua di Banda Aceh, Sabtu.

Josua mengatakan bahwa bergabungnya Indonesia dalam BRICS diharapkan lebih banyak membawa keuntungan atau dampak positif apalagi Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. Indonesia bisa memaksimalkan keanggotaan ini sehingga bisa memiliki tujuan ekspor dan investasi yang baru.

“Meskipun kerugiannya mungkin image-nya, ya. Mungkin bilateral kita dengan AS harus diperkuat juga, kita harus manage (image/persepsi) juga bahwa kita masuk BRICS bukan mendukung untuk ikutan single currency-nya di BRICS,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI Triwahyono menekankan bahwa dedolarisasi tidak sama dengan local currency transaction (LCT).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dedolarisasi berarti dapat diartikan sebagai antidolar bahkan tidak mau bertransaksi menggunakan dolar. Sedangkan LCT merupakan pilihan yang diberikan kepada pelaku usaha dalam ekspor-impor untuk bertransaksi menggunakan mata uang lokal yang telah disepakati secara bilateral.

“LCT itu bukan dalam konteks antidolar, tapi memang dalam konteks memberi opsi kepada pelaku usaha untuk tidak tergantung hanya satu mata uang (dalam hal ini dolar), tapi juga bisa menggunakan mata uang lain (mata uang lokal) dalam melakukan transaksi,” kata Triwahyono.

Dengan adanya LCT, ujar Triwahyono, kedua negara yang bertransaksi dalam perdagangan akan mengurangi ketergantungan terhadap dolar yang tidak perlu.

Ia mencontohkan, ketika Indonesia menjalin kerja sama LCT dengan Malaysia, maka tidak ada kewajiban bagi Indonesia maupun Malaysia untuk menggunakan mata uang dolar dalam transaksi perdagangan. Dengan kata lain, Indonesia dan Malaysia bisa menggunakan rupiah maupun ringgit Malaysia untuk transaksi perdagangan.

BI sendiri sudah menjalin kerja sama bilateral untuk pertukaran mata uang lokal dengan beberapa negara. Terbaru, BI memperbarui perjanjian bilateral pertukaran mata uang lokal (bilateral currency swap arrangement/BCSA) dengan Bank Sentral China atau the People's Bank of China (PBOC).

Perjanjian BCSA tersebut juga melengkapi kerja sama penyelesaian transaksi berbasis mata uang lokal (LCT) yang sudah berjalan sejak 2021 dan saat ini menjadi skema utama dalam penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi dalam mata uang masing-masing negara.

Adapun isu mengenai dolarisasi BRICS kembali mengemuka sejak ancaman yang dilayangkan Presiden AS Donald Trump pada akhir November 2024. Trump mengancam akan mengenakan tarif 100 persen terhadap negara-negara BRICS apabila mereka tidak membatalkan rencana untuk menggunakan mata uang alternatif selain dolar AS.

Terkait dengan pembicaraan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, pada akhir Oktober 2024, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono telah menepis adanya isu dedolarisasi atau penciptaan mata uang baru sebagai pesaing dolar AS.

Sugiono menegaskan tak ada wacana BRICS untuk menerbitkan mata uang alternatif dolar AS, sebagaimana yang menjadi ancaman dari Presiden AS Donald Trump. Hal itu disampaikan Sugiono saat memberikan keterangan pers pada 2 Desember 2024, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Sementara itu, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral Mari Elka Pangestu pada Selasa (7/1) mengatakan bahwa bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh aliansi BRICS tidak perlu mengkhawatirkan dampaknya terhadap hubungan bilateral AS dan Presiden AS Donald Trump.

Menurut Mari Elka yang juga anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), diplomasi Indonesia yang menganut politik bebas aktif membuat negara bisa bekerja sama dengan berbagai pihak dan tidak terafiliasi dengan hanya satu forum multilateral saja.

Baca juga: Istana: Keanggotaan RI di BRICS tak berarti tinggalkan hubungan AS

Baca juga: Menlu: RI ikut BRICS untuk jembatani negara maju-negara berkembang

Baca juga: Istana nilai wajar aksesi keanggotaan RI untuk OECD masih berjalan

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |